Main image

Monday, January 17, 2011

Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum (Studi Atas Yurisprudensi Mahkamah Agung Tentang Hadlanah dan Nafkah Iddah)

Oleh: Alamsyah

A. PENDAHULUAN

Hukum mempunyai relevansi yang erat dengan keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. Hal ini terkait dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi etis di dunia. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju kebahagiaan

Hakikat hukum adalah membawa aturan yang adil dalam masyarakat. Hukum harus mengadakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana dicita-citakan. Hukum mengandung suatu tuntutan keadilan. Diharapkan seluruh ketentuan yang mengatur segala perilaku atau keadaan manusia dalam kehidupan mencerminkan rasa keadilan.

Pengadilan tidak hanya sebagai badan yang memeriksa dan mengadili perkara melainkan masuk dalam pengertian abstrak juga yaitu memberikan keadilan. Hal memberikan keadilan yang berkaitan dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan – kongkritnya kepada yang mohon keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.

Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tugasnya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya, menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.

Dalam tulisan ini akan mengkaji mengenai keadilan dalam pandangan filsafat hukum dengan membahas ratio decidendi yurisprudensi Mahkamah Agung terkait persoalan hak hadlanah dan nafkah iddah dalam perkara perceraian.

B. PEMBAHASAN

1. Teori Keadilan

Teori teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan “the search for justice”. Terdapat macam-macam teori mengenahi keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Di antara teori-teori tersebut dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice.

Pemikiran Aristoteles mengenai keadilan dapat dipelajari dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Khusus dalam buku nicomachean ethics, sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.Yang sangat urgen dari pemikirannya adalah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.

Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia

Sedangkan keadilan menurut John Rawls, bahwa teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.

Situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

Persoalan keadilan juga menjadi bahasan dalam ranah filsafat hukum Islam, yang biasa disebut teori maslahat. Kajian tentang maslahat sering kali dibahas tatkala berbicara tentang maqasyid syari’ah. Konsep maqasyid syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat. Maqasyid syari’ah menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqasyid syari’ah adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Konsep maslahat yang popular dan menjadi prioritas yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

2. Studi Yurisprudensi tentang Hadlanah dan Nafkah Iddah

Yurisprudensi Nomor : 110/K/AG/2007

Berbicara tentang duduk perkara, diketahui bahwa suami isteri Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai seorang anak perempuan, lahir di Jakarta, tanggal 12 November 2001. Kurang lebih dua tahun terakhir dalam perkawinan mereka terus-menerus telah terjadi percekcokan sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi. Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah antara Penggugat dan Tergugat telah ditempuh, akan tetapi tidak membuahkan hasil.

Mengingat anak dimaksud belum mumayyiz, Penggugat mengajukan supaya anak berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat sebagai ibunya. Dan mengingat anak masih membutuhkan biaya pemeliharaan dan pendidikan, maka patut dan cukup alasan biaya-biaya dimaksud dibagi sama rata besarnya antara Penggugat dan Tergugat.

Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama menetapkan pengasuhan dan pemeliharaan anak Penggugat dan Tergugat berada di pihak Tergugat (ayah si anak). Pada tingkat banding, putusan Pengadilan Agama tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama, yang menetapkan Penggugat sebagai pemegang hadlanah terhadap si anak dan memerintahkan kepada Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada Penggugat.

Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-mata dilihat dari siapa yang paling berhak, akan tetapi harus melihat fakta ikut siapa yang lebih tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak, dengan kata lain yang harus dikedepankan adalah kepentingan si anak, bukan siapa yang paling berhak. Fakta yang telah diungkap oleh Hakim Pertama, si anak akan lebih menderita sekiranya ia harus ikut ibunya, karena ibu si anak sering bepergian ke luar negeri, dan tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan fakta yang ada sekarang si anak tenang dan tenteram bersama ayahnya.

Bahwa sekalipun anak tersebut ditetapkan di bawah hadlanah Pemohon Kasasi/Tergugat selaku ayahnya, akan tetapi tidak boleh memutuskan hubungan komunikasi dengan Termohon Kasasi/Penggugat selaku ibunya, dan Termohon Kasasi/Penggugat mempunyai hak untuk berkunjung atau menjenguk dan membantu mendidik serta mencurahkan kasih sayangnya sebagai seorang ibu terhadap anaknya.
Amar putusan Mahkamah Agung menetapkan hak hadlanah ada pada Penggugat Rekonvensi (ayah si anak) dan memerintahkan kepada Penggugat Rekonvensi untuk memberi kesempatan kepada Tergugat Rekonvensi selaku ibu kandungnya untuk bertemu dengan anaknya tersebut dan ikut bersamanya pada hari-hari libur sekolah atau hari-hari yang disepakati.

Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Agung, dipahami bahwa pertimbangan utama dalam masalah hadlanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Jika dipahami mendasarkan pada keadilan dalam pemikiran Aristoteles, maka keadilan yang diterapkan oleh hakim lebih mengarah pada keadilan proporsional. Fakta bahwa ayah si anak yang selama ini lebih memperhatikan kehidupan anak dan kenyamanan anak hidup bersama ayahnya tentu menunjukkan suatu hal yang adil bilamana hak hadlanah di berikan kepada si ayah daripada diberikan kepada ibunya yang sering meninggalkan si anak karena sering bekerja ke luar negeri. Namun demikian, walaupun hakim telah memutuskan bahwa hadlanah berada pada si ayah namun ibu tetap diberi hak untuk selalu berkomunikasi dengan anak serta memberi kesempatan bertemu dan mengajak anaknya pada hari-hari libur maupun hari-hari yang disepakati. Putusan hakim ini kalau dicermati secara seksama adalah memberikan putusan yang menguntungkan kedua belah, baik si ayah maupun ibu dari anak tersebut, sehingga dapat dikatakan putusan yang bersifat win-win solution.

Selama ini banyak hakim yang berorientasi pada segi normatif saja dalam pemeliharaan anak (hadlanah), dengan berdasar pada Kompilasi Hukum Islam maupun kitab-kitab fiqh klasik. Pasal 105 KHI menentukan bahwa dalam hal terjadi perceraian: a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Adanya yurisprudensi tersebut setidaknya menepis opini miring bahwa penyelesaian sengketa dengan menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan.

Apabila ditinjau berdasar teori maslahah maka sebenarnya yurisprudensi tersebut mencerminkan penggunaan pandangan kemaslahatan dalam memutus hak hadlanah daripada segi normatif siapa yang paling berhak. Hakim lebih memandang kemaslahatan dan kepentingan si anak daripada aturan normatif yang menunjukkan hak hadlanah jatuh kepada si ibu sebab anak belum mumayyiz. Hakim melihat bahwa lebih banyak mudaratnya jika hak hadlanah diberikan kepada si ibu karena dia sering pergi ke luar negeri dan kurang memperhatikan kepentingan anak. Dalam hadis disebutkan bahwa “ meniadakan kemadaratan dan tidak menciptakan suatu kemadaratan”.

Perlu dipahami bahwa dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan dan ditegakkan. Adanya kepastian hukum diharapkan terciptanya masyarakat yang lebih tertib. Manfaat juga diperlukan dalam pelaksanaan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai jutru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan dalam masyarakat. Unsur lain yang harus diperhatikan pula adalah keadilan. Bahwa dalam pelaksanaan hukum maupun penegakkan hukum harus memperhatikan keadilan bagi masyarakat. Hakim dalam memutus perkara harus mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang di antara ketiga unsur walaupun hal demikian adalah sangat sulit dipraktekkan.

Hakim mengemban suatu amanat agar selalu dapat menjamin bahwa peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengeyampingkan peraturan perundang-undangan. Hakim mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk dapat menimbulkan manfaat bagi orang lain melalui putusan hukumnya. Hakim dapat selalu merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat dan bahwa putusan itu sendiri merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya atas suatu perkara.

Yurisprudensi Nomor : 137/K/AG/2007

Berbicara tentang duduk perkara, diketahui bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang menikah pada tanggal 20 November 1984 dan telah dikaruniai tiga orang anak. Sejak tahun 2001 dirasakan adanya ketidakhamonisan dalam rumah tangga. Antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi percekcokan dan pertengkaran yang berakhir dengan ancaman dari Tergugat. Tergugat sering melontarkan kata-kata kotor dalam setiap pertengkaran. Apabila terjadi perselisihan Tergugat sering mengancam Penggugat dengan senjata tajam yang dapat membahayakan keselamatan Penggugat dan anak-anak Penggugat.

Kurang lebih dua tahun sampai gugatan ini diajukan, Tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada Penggugat. Penggugat telah berusaha memperbaiki kondisi ekonomi rumah tangga dengan bekerja untuk membantu tambahan biaya hidup sambil menunggu adanya pengertian dan perubahan sikap dari Tergugat, namun Tergugat malahan cemburu dan mengancam teman kerja Penggugat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama agar menyatakan jatuh talak satu khul’i dari Tergugat terhadap diri Penggugat dengan iwad Rp. 10.000,-.

Hal yang menarik dikaji dari Yurisprudensi tersebut adalah adanya amar putusan yang tidak dituntut oleh Penggugat yaitu amar tentang nafkah iddah dan anak. Jika kita melihat sepintas tentu hal ini bertentangan dengan asas ultra petitum partium yang termaktub dalam Pasal 178 ayat (3) HIR yang menyebutkan hakim dilarang memutus melebihi dari apa yang dituntut atau yang tidak dituntut.

Namun karena nafkah dan nafkah anak termasuk dalam akibat perceraian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka ketentuan tersebut menurut penulis merupakan lex specialis sedangkan asas ultra petitum partium adalah lex generalis, sehingga berdasarkan asas preferensi lex specialis derogate lege generalis, maka aturan yang terdapat dalam pasal 41 huruf c dapat diterapkan.

Amar tentang nafkah iddah merupakan suatu dictum yang menarik dibahas, sebab dalam perkara cerai gugat biasanya isteri tidak memperoleh nafkah iddah karena dianggap nusyuz. Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI maka nafkah iddah diberikan dalam hal perkara cerai talak (cerai yang diajukan oleh suami), bukan cerai gugat (cerai yang diajukan isteri).

Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam masalah iddah yaitu bahwa sesuai ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, meskipun gugatan diajukan oleh isteri akan tetapi tidak terbukti isteri telah berbuat nusyuz, maka Mahkamah Agung berpendapat Termohon kasasi harus dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada Pemohon kasasi, dengan alasan isteri harus mejalani masa iddah dan tujuan dari iddah antara lain untuk istibra’, yang istibra’ tersebut menyangkut kepentingan suami.

Menurut penulis putusan yang memberikan nafkah iddah kepada pihak Penggugat merupakan suatu hal yang adil. Isteri yang menggugat cerai suaminya tidak selalu dihukumi nusyuz. Meskipun gugatan perceraian diajukan oleh isteri tetapi tidak terbukti isteri telah berbuat nusyuz, maka secara ex officio suami dapat dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isteri sebab bekas isteri harus menjalani masa iddah.
Pemikiran bahwa isteri yang mengajukan gugatan perceraian selalu dipandang nusyuz yang selama ini menghegemoni pola berfikir kebanyakan para hakim di Peradilan Agama harus mulai diubah karena pemikiran semacam itu dinilai tidak adil.

Harusnya, yang harus dicermati adalah filosofi mengapa dalam perkara cerai gugat isteri tidak berhak menerima nafkah iddah. Isteri yang mengajukan gugatan perceraian tidaklah selalu dianggap nusyuz, sebab alasan isteri sampai mengajukan gugatan cerai juga banyak disebabkan oleh perilaku suami yang tidak bertanggung jawab atau melakukan tindakan yang dapat dipakai oleh isteri sebagai alasan perceraian sesuai dengan ketentuan hukum positif. Sehingga jika isteri tidak terbukti berbuat nusyuz maka isteri berhak menerima nafkah iddah.

Para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada saat pembuatan putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh , seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakikat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena itu, hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu ‘perilaku’.

Undang-undang memang penting dalam Negara hukum. Akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal dalam undang-undang. Bahkan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 disebutkan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Semuanya itu dimaksudkan agar putusan hakim benar-benar memberikan suatu keadilan.

B. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, keadilan menurut konsep Aristoteles mesti dipahami dalam pengertian kesamaan, yaitu kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. John Rawl menegaskan bahwa program penegakkan keadilan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu: pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Sedangkan keadilan dalam ranah filsafat hukum Islam masuk dalam bahasan maqasyid syari’ah yang terkonstruk dalam bangunan teori maslahah.

Kedua, berdasarkan studi atas yurisprudensi dipahami bahwa dalam penentuan hak hadlanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Mengenai persoalan nafkah iddah dipahami bahwa isteri yang menggugat cerai suaminya tidak selalu dihukumkan nusyuz. Meskipun gugatan perceraian diajukan oleh isteri tetapi tidak terbukti isteri telah berbuat nusyuz , maka secara ex officio suami dapat dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isterinya.


DAFTAR PUSTAKA


Friederich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Manan, Bagir, Wajah Hukum di Era Reformasi, Bandung: Citra Aditya bakti, 2000.
Mertokusumo, Sudikono, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2007.
Rawl, John, Teori Keadilan, terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Suparman, Eman, Persepsi tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa, http.// resources.unpad.ac.id.
Suparmono, Rudi, Peran Serta Hakim Dalam Pembelajaran Hukum, Varia Peradilan edisi Mei 2006.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110/K/AG/2007
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 137/K/AG/2007

No comments:

Post a Comment