Main image

Tuesday, January 18, 2011

Korelasi Praktek Hukum dengan Teori Hukum

Oleh : Alamsyah

Pendahuluan

Eksistensi hukum dalam kehidupan merupakan suatu hal yang urgen sebab dalam tatanan kehidupan muncul berbagai kepentingan manusia yang rentan menimbulkan suatu konflik. Sehingga diperlukan aturan hukum yang jelas untuk melindungi kepentingan manusia dalam praktek.

Berbicara tentang praktek hukum tentu mempunyai korelasi yang erat dengan pembahasan mengenahi ilmu hukum. Dalam ranah ilmu hukum terdapat gradasi atau lapisan ilmu hukum yang meliputi filsafat hukum, teori hukum, dogmatik hukum, dan praktek hukum.

Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat dan disusul dogmatik hukum dalam arti ilmu hukum positif. Dua disiplin ilmu tersebut memiliki perbedaan yang sangat ekstrem. Filsafat hukum bersifat spekulatif, sedangkan hukum positif bersifat teknis. Berkaitan dengan keadaan tersebut, dibutuhkan disiplin tengah yang menjembatani filsafat hukum dan ilmu hukum positif. Disiplin tengah tersebut mula-mula terbentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer) yang berisi ciri- ciri umum seperti asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum. Beranjak dari ajaran hukum umum berkembang menjadi teori hukum.

Teori hukum difungsikan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam memberikan penjelasan tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Hal tersebut berarti teori hukum mempunyai pengaruh yang besar dalam praktek hukum. Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah apakah praktek hukum terkait dengan teori hukum?

Pembahasan

Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Berdasarkan definisi tersebut, teori hukum dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretik bidang hukum, serta teori hukum dapat berarti proses, yaitu kegiatan teoretik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoretik bidang hukum sendiri.

Selanjutnya, ditambahkan oleh J.J.H. Bruggink bahwa teori hukum mengandung arti sempit dan luas. Teori hukum dalam arti sempit adalah lapisan ilmu yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum dan bersifat interdisipliner. Sedangkan hukum dalam arti luas meliputi dogmatik hukum, teori hukum dalam makna sempit dan filsafat ukum.

Teori hukum perlu dibedakan dengan disiplin lain dalam ranah lapisan ilmu hukum yaitu filsafat hukum dan dogmatik hukum (hukum positif). Teori hukum berbeda dengan hukum positif. Menurut Satjipto Rahardjo, teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif. Kemudian menurut Radbruch teori hukum mempunyai tugas membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.

Terkait dengan praktek hukum, maka keberadaan dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya diarahkan kepada praktek hukum. Yang mana praktek hukum tersebut menyangkut dua aspek utama yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.

Berbicara tentang praktek hukum dan teori hukum maka keduamnya mempunyai korelasi yang sangat erat. Penerapan hukum maupun pembentukan dalam ranah praktek hukum adalah terikat dengan keberadaan teori hukum. Hal ini didasarkan pada dua argumen mendasar berikut.

Pertama, konsep teori hukum merupakan konsep umum dan dogmatik hukum merupakan konsep teknis. Dogmatik hukum merupakan ilmu hukum praktis dan fungsi ilmu praktis adalah problem solving. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari sudut pandang teknikal dan teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, diperoleh pemahaman bahwa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum diperlukan aturan hukum positif atau dogma hukum namun tidak boleh menyalahi konsep umum yang ada dalam teori hukum sebab pada dasarnya dogmatik hukum merupakan refleksi dari teori hukum sehingga praktek hukum dapat dikatakan terikat oleh teori hukum.

Teori hukum merupakan jalan ilmiah metodikal untuk memperoleh sesuatu pemahaman teoretikal yang lebih baik secara global tentang gejala-gejala hukum. Sehingga sifatnya bukan sudut pendekatan yuridik teknikal, melainkan sesuatu pendekatan yang lebih teoretikal, yang di dalamnya bukan pemaparan dan sistimatisasi hukum yang mewujudkan titik tolak melainkan analisis dan penjelasan terhadap gejala hukum. Teori hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah positif terhadap gejala hukum serta teori hukum berdasar rasionalitas atas dasar kritaria umum yang dapat diterima oleh setiap orang.

Untuk memperkuat pernyataan bahwa praktek hukum terikat dengan teori hukum, maka penulis akan menguraikan melalui contoh dalam hukum perusahaan. Dalam hukum perseroan (perseroan terbatas) dikenal adanya pertanggung jawaban terbatas pemegang saham. Pasal 40 KUHD ayat (2) menyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab melebihi dari saham yang dimiliki. Ditegaskan pula dalam pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Penjelasan pasal menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat tersebut mempertegas ciri perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, seandainya suatu perseroan dinyatakan pailit oleh pengadilan dan hasil penjualan dari harta kekayaan perseroan ternyata tidak cukup melunasi hutang-hutang perseroan, para pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab untuk menutupi kekurangan pelunasan hutang-hutang perseroan tersebut.

Ketentuan tersebut merupakan refleksi dari teori badan hukum maupun teori hukum perseroan bahwa perseroan merupakan asosiasi modal yang kekayaannya terpisah dengan pemegang saham atau organ perseroan serta diterapkannya asas separate corporate personality bahwa antara perseroan sebagai legal entity dan para pemegang saham dari perseroan terdapat suatu tabir atau pemisah dalam teori hukum perusahaan tabir tersebut dinamakan corporate veil atau tabir perseroan.

Menurut terori hukum perseroan, dalam keadaan tertentu tabir tersebut dapat disingkap oleh hukum. Artinya, apabila terjadi atau terdapat keadaan dimaksud, hakim dapat memutuskan agar pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi sampai kepada kreditor peseroan yang dirugikan oleh perbuatan hukum yang dilakukan perseroan. penyingkapan corporate veil itu disebut piercing the corporate veil. Artinya, dalam hal-hal tertentu keterbatasan tanggung jawab pemegang saham tidak berlaku. Apabila terjadi atau terdapat hal-hal tertentu yang dimaksudkan itu, pemegang saham tidak dilindungi oleh the doctrine of separate legal personality of a company atau the principle of the company’s separate legal personality tersebut.

Prinsip piercing the corporate veil telah dirumuskan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perseroan Terbatas secara terbatas, yang mencakup empat hal, yaitu persyaratan perseroan sebagai bahan hukum belum atau tidak terpenuhi, pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi, pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan, dan pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak untuk melunasi utang perseroan.

Piercing the corporate veil bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga ataupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan uraian contoh tersebut di atas, maka dalam menerapkan suatu aturan hukum perlu diperhatikan teori hukum agar diperoleh pemahaman yang benar serta menyeluruh. Dalam praktek hukum di dunia perusahaan harus dipahami tentang apa yang dimaksud pertanggungjawaban secara terbatas pemegang saham, apa akibat hukum dari pertanggungjawaban secara terbatas pemegang saham, mengapa muncul pertanggung jawaban terbatas dalam perseroan, adakah hubungan dengan kriteria perusahaan sebagai badan hukum, dalam hal perbuatan pemegang saham dapat berakibat tidak digunakannya prinsip pertanggungjawaban secara terbatas pemegang saham. Pertanyaan-pertanyaan tersebebut adalah mengarah pada pemahaman teori hukum perusahaan serta teori badan hukum. Dengan demikian, hakim maupun praktisi hukum dalam menerapkan hukum terhadap masalah-masalah hukum perseroan harus mempunyai pemahaman yang benar tentang teorihukum di bidang hukum perusahaan.

Kedua, tidak semua aturan hukum positif mampu memberikan jawaban yang jelas mengenai persoalan hukum praktis sebab di dalamnya terkandung norma yang terbuka, norma yang kabur, bahkan konflik norma sehingga diperlukan pemahaman nengenai konsep-konsep hukum berupa teori hukum maupun asas-asas hukum atau ajaran-ajaran hukum. Hal ini digunakan dalam praktek hukum pada ranah pembentukan hukum atau penemuan hukum.

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkit. Sementara orang lebih suka menggunakan “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.

Rechtvinding menurut J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi dan kontruksi hukum. Kontruksi hukum terdiri atas analogi, argumentum a contrario, dan penyempitan hukum. Konstruksi hukum sangat dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum.

Tatkala terdapat norma yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan ruang lingkupnya terlalu umum dan luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu (penyempitan hukum atau rechtverfijning). Sebagai cntoh, undang-undang tidak menjelaskan apakah kerugian harus diganti juga oleh yang dirugikan yang ikut bersalah menyebabkan kerugian (Pasal 1365 BW), tetapi yurisprudensi menetapkan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan ini hanya dapat menuntut sebagian kerugian dari kerugian yang diakibatkan olehnya.

Jika suatu peristiwa tidak diatur secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Maka cara menemukan hukum digunakanlah metode argumentum a contrario yaitu cara menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara pengertian konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Sebagai contoh dari metode ini adalah pasal 39 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 130 hari. Ketentuan ini jika dipahami secara a contrario maka seorang pria yang ditinggal mati oleh isterinya maka tidak ada waktu tunggu baginya.

Kemudian rechtvinding terkait munculnya konflik norma karena terdapat pertentangan antara norma hukum dari undang-undang maka tipe penyelesaiannya berkaitan dengan asas preferensi hukum yang meliputi asas lex superior, asas lex spesialis, asas lex posterior. Sebagai contoh, penyelesaian konflik norma melalui asas preferensi adalah adanya pertentangan norma hukum antara ketentuan pasal 41 huruf c undang-undang perkawinan dengan asas ultra petitum partium dalam hukum acara perdata.

Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa pengadilan dapat mewajibkan terhadap bekas suami untuk dapat memberikan biaya penghidupan dan/menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. Ketentuan ini jika dikaitkan dengan perkara cerai talak, yang mana perceraian diajukan oleh pihak suami, maka dimungkinkan hakim akan menjatuhkan putusan sesuatu yang tidak diminta oleh suami. Semisal hakim menghukum bekas suami untuk membayar nafkah ‘iddah dan mut’ah kepada bekas isteri.

Adapun asas ultra petitum partium sebagaimana tercantum dalam pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR menjelaskan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang dituntut.

Dua ketentuan tersebut diatas terlihat terdapat pertentangan norma hukum, satu sisi dibuka kemungkinan memutus perkara melebihi dari pada apa yang dituntut maupan yang tidak dituntut tetapi disisi lain tidak membolehkan. Untuk menyelesaikan permasalahan perlu kiranya dilihat dua aturan tersebut secara seksama, aturan yang sebagaimana yang tercantum dalam pasal 41 huruf c Undang-undang perkawinan merupakan aturan yang terkait perkara perceraian, khususnya perkara cerai talak.

Dalam hukum Islam dikenal kewajiban yang dibebankan kepada bekas suami jika suami yang mengajukan perceraian, semisal nafkah madliyah, nafkah iddah, dan mut’ah. Hal ini sangat terkait dengan akibat hukum dari suatu perceraian khususnya perceraian yang diajukan oleh pihak suami. Berdasarkan pemahaman tersebut maka aturan dalam pasal tersebut adalah bersifat khusus, sedangkan asas ultra petitum partium merupakan asas umum yang berlaku dalam hukum acara perdata. Dengan mendasarkan pada penggunaan asas preferensi yaitu asas lex special derogate lege generalis maka dapat ditemukan solusi hukumnya.

Penutup

Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa praktek hukum terikat dengan teori hukum dengan dua alasan mendasar berikut:

Pertama, bahwa hukum positif atau dogmatik hukum digunakan sebagai problem solving atas persoalan hukum yang muncul namun tidak boleh menyalahi konsep umum yang ada dalam teori hukum sebab pada dasarnya dogmatik hukum merupakan refleksi dari pemikiran-pemikiran teori hukum sehingga berarti praktek hukum terikat dengan teori hukum.

Kedua, bahwa tidak semua aturan hukum positif atau dogmatik hukum mampu memberikan jawaban yang jelas mengenai persoalan hukum praktis sebab di dalamnya terkandung norma yang terbuka, norma yang kabur, bahkan konflik norma sehingga diperlukan pemahaman mengenai konsep-konsep yang ada dalam teori hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Hadjon, Philipus M. Dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002.
________, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2008.
Salman, H.R. Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Usman, Rahmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung: Alumni, 2004.

1 comment: