tag:blogger.com,1999:blog-52112798910450173232024-03-14T11:53:58.508+07:00Cahaya KeadilanBersama Menuju Puncak Kehidupan Penuh ArtiAlamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.comBlogger13125tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-36490293359158982052012-04-08T09:30:00.002+07:002012-04-08T09:30:35.309+07:00Siapa Harus Berbuat Adil ? Oleh : Alamsyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> </w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style> <![endif]--> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Pemimpin bersikap adil adalah sebuah keharusan. Semua orang tentu sepakat jika para pemimpin di negeri ini harus mampu menjalankan tugasnya demi kemaslahatan rakyat, tanpa melakukan diskriminasi atas alasan apapun. Meskipun seorang pemimpin berasal dari daerah maupun partai tertentu ketika ia berada pada posisi sebagai pemimpin tidak boleh semata membangun masyarakat asal wilayahnya saja atau mengedepankan para pendukung partainya. Pemimpin adalah milik semua rakyat dan harus berbuat yang terbaik bagi rakyat. Ini sesuai dengan kaidah fiqh, “pengurusan pemimpin (pemerintah) terhadap rakyatnya sesuai dengan kemaslahatan”. (<span lang="IN" style="line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 14.0pt;">Asybah wan Nadhaair: 83</span>).</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Menjadi pemimpin yang adil memang sangat berat. Terlebih, memimpin sebuah negara dengan wilayah yang luas serta ratusan juta rakyat dengan berbagai latar belakang dan pemikiran berbeda. Namun, jika seorang pemimpin mampu berbuat adil maka sungguh kedudukan mulia akan diperolehnya di hadapan Allah. “Sesungguhnya para penegak keadilan itu di sisi Allah berada di atas mimbar dari cahaya, yaitu orang-orang yang sama menegakkan keadilan dalam memberikan hukum pada keluarga mereka dan rakyat yang mereka perintah”. (HR. Muslim). Bahkan, dalam hadis lain disebutkan bahwa di antara tiga golongan yang mendapat predikat sebagai ahli syurga adalah penguasa yang berlaku adil. (HR. Muslim).</div><a name='more'></a><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Selain pemimpin, sikap adil harus dimiliki oleh hakim yang memutus perkara di pengadilan. Putusan yang dijatuhkan hakim harus berkeadilan sesuai irah-irah yang terdapat dalam setiap putusan, “demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Sikap adil diterapkan dengan memberikan perlakuan dan memberikan kesempatan yang sama (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">equality and fainess</i>) terhadap setiap orang. Hakim memiliki tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil tanpa membeda-bedakan orang.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Umar bin Khattab dalam risalahnya menyebutkan, “Persamakanlah kedudukan manusia dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu sehingga seorang yang terhormat (bangsawan) tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemah tidak berputus asa atas keadilanmu”.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Kini, muncul sebuah pertanyaan. Apakah bersikap adil hanya menjadi kewajiban para pemimpin dan hakim semata. Jawabannya, tentu tidak. Bersikap adil itu tidak dibatasi terhadap orang atau dalam waktu tertentu. Bersikap adil bukan hanya diwajibkan bagi para pemimpin dan hakim semata, tapi menjadi sikap yang harus dilakukan oleh setiap orang dan tak terbatas oleh waktu.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Allah telah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah: 8).</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Kebalikan bersikap adil adalah zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutus perkara, berat sebelah dalam berbuat, membeda-bedakan orang, mengambil atau mengurangi hak orang lain. Zalim sungguh merupakan perbuatan yang dilarang. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan (berlaku) zalim atas diri-Ku dan Aku menjadikannya haram di antara kalian…”. (HR. Muslim).</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Sikap adil harus dimiliki setiap pribadi mukmin, tidak hanya berlaku bagi orang tertentu. Manusia beriman harus senantiasa berbuat adil dalam hidupnya. Dimulai dari bersikap adil bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, hingga dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. <em>Wallahu a’lam</em><em><span style="font-style: normal; mso-bidi-font-style: italic;">.</span></em></div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-13995260660658959572012-03-31T12:16:00.005+07:002012-04-03T14:21:47.897+07:00Saling Berbalas Kekerasan Oleh : Alamsyah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">Gemuruh demonstrasi menolak kenaikan BBM diwarnai berbagai aksi kekerasan. Aksi tidak terpuji tidak hanya dilakukan oleh para demonstran dengan berbagai tindakan anarkis, namun ternyata dibalas pula oleh aparat kepolisian melalui tindakan represif yang kebablasan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Sangat disayangkan. Keluhuran maksud demonstran menyuarakan penderitaan rakyat akan ekses kenaikan BBM ternodai dengan tindakan perusakan, penjarahan, penyanderaan kendaraan, bahkan penyerangan terhadap aparat. Padahal, demonstrasi sebagai bentuk penyampaian aspirasi akan tetap berada dalam koridor alam demokrasi sepanjang dilakukan secara etik dan sesuai aturan.<br />
<a name='more'></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Perusakan dan pembakaran fasilitas milik negara semisal pos polisi, kendaraan dinas maupun bangunan gedung pemerintah mungkin dimaksudkan sebagai bentuk luapan kekesalan. Sebab pemerintah mengambil kebijakan tidak populis yang menyengsarakan rakyat dan aparat kepolisian seringkali dianggap musuh demonstran karena menghalangi niatannya menyampaikan aspirasi di tempat yang dituju.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Namun, tindakan itu secara tidak langsung sebenarnya merugikan rakyat sendiri. Betapa tidak. Dana yang digunakan untuk membangun gedung pemerintah dan fasilitas umum adalah berasal dari rakyat. Semakin banyak peristiwa perusakan tentu akan semakin banyak dana rakyat yang nantinya diserap untuk kepentingan pemerintah bukan untuk program kesejahteraan rakyat.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Begitu juga aksi penjarahan seperti menjarah makanan siap saji, tabung gas dan BBM di SPBU selanjutnya dibagi-bagikan kepada masyarakat malah akan menimbulkan keresahan dan hilangnya potensi keuntungan masyarakat yang akan melakukan aktifitas hidup. Ini tentu sebuah kerugian besar.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Nah, celakanya aksi kekerasan para demonstran dibalas dengan tindakan represif aparat kepolisian di lapangan, meskipun Mabes Polri telah melarang penggunaan cara-cara kekerasan dalam menghadapi aksi demonstrasi BBM. Kita lihat dalam beberapa tayangan televisi swasta atas demosntrasi hari Selasa (27/03/12), seorang mahasiswa mendapat pentungan bertubi-tubi padahal ia dalam kondisi terpojok di selokan. Ada juga mahasiswa yang sudah tidak berdaya dihajar beramai-ramai oleh polisi hingga babak belur, bahkan ada kesaksian mahasiswa terkena peluru karet akibat kebringasan polisi.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Unjuk kekuatan oleh polisi dalam menghadapi aksi demonstrasi ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Polisi bahkan melakukan tindakan kekerasan dan perampasan hasil rekaman salah satu wartawan televisi swasta. Apa salah wartawan?. Padahal, keberadaan wartawan di tengah kerumunan massa adalah demi menjalankan tugas jurnalistik dan hal itu dilindungi oleh undang-undang. Ini benar-benar sebuah tindakan represif yang kebablasan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">Harusnya, kepolisian menciptakan ide kreatif dalam penanganan aksi demo secara elegan. Langkah membuat group polisi wanita (polwan) sebagai negosiator terhadap para demostran sebenarnya merupakan langkah maju kepolisian yang perlu diapresiasi, namun harusnya tidak berhenti sampai di situ. Para polisi yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi harusnya dibekali dengan teknik cerdas penanganan demonstrasi serta psikologi massa supaya tidak terkesan main hantam saja.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>Instropeksi Bersama</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"> </b>Berdasarkan realitas aksi demonstrasi yang sering terjadi, maka masing-masing pihak yang terlibat haruslah saling instropeksi diri. Pertama, bagi para para demonstran baik itu dari kalangan mahasiswa, buruh, maupun rakyat biasa harus mengindahkan aturan yang telah ada. Tidak hanya menggunakan haknya untuk berdemo, tetapi harus menunaikan kewajibannya sebelum dan saat beraksi. Perjuangan menyuarakan penderitaan rakyat adalah keharusan, namun demonstrasi yang dilakukan harus terbebas dari tindakan anarkis.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"> Kedua, aparat keamanan harus tidak menitikberatkan pada tindakan represif, bahkan membalas kekerasan dengan kekerasan. Aparat kepolisian adalah penegak hukum. Segala langkah yang dilakukan harusnya berdasarkan pada aturan hukum dan standar operasional yang telah digariskan institusinya. Bukan, ikut terpancing emosi atas segala aksi demo sehingga membalas dengan kekerasan pula. Jangan sampai polisi semakin terkesan sebagai musuh para demonstran, tetapi polisi menjadi mitra untuk mengawal penyampaian aspirasi rakyat.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Ketiga, pemerintah dan DPR yang berperan dalam menggolkan kebijakan menaikkan harga BBM harus berpikir bahwa dampak kebijakan tersebut sangat luas dirasakan masyarakat. Maraknya aksi demo dari berbagai elemen masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat akan terkena dampak kenaikan BBM. Masyarakat tidak hanya berhitung akan harga BBM semata, namun kenaikan harga barang lainnya dan pelayanan jasa yang ikutan naik. Pemerintah jangan hanya berhitung wilayah makro-mikro perkembangan harga dan subsidi BBM. Harus dipikirkan pula, kesengsaran rakyat kecil atas meluasnya ekses kenaikan harga BBM.</span></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-76554497417923451872012-03-25T16:45:00.002+07:002012-03-26T11:31:21.908+07:00Demonstrasi Salah Arah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Oleh : Alamsyah<br />
dimuat www.detik.com<br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"> Rencana aksi demonstrasi PNS Subang menggugat putusan Mahkamah Agung (MA) terkait Bupati nonaktif, Eep Hidayat, memantik berbagai reaksi penolakan. Menurut Imam Anshori Saleh, Wakil Ketua Komisi Yudisial, sebagaimana dilansir berbagai media bahwa aksi demonstrasi terhadap putusan MA adalah sama dengan sikap tidak menghormati hukum. Bahkan menurut Gamawan Fauzi, PNS Subang tidak perlu melakukan mogok kerja sebagai bentuk loyalitas kepada pimpinannya tetapi PNS harus loyal terhadap hukum.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"> Niatan aksi kontroversial ini menyeruak karena dipicu perubahan status hukum Eep Hidayat. Sebelumnya, dia divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung atas perkara korupsi Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pemerintah Kabupaten Subang Tahun 2005-2008. Namun, MA pada tingkat kasasi memutus dirinya bersalah dan dihukum dengan penjara 5 tahun. Selain itu, dia juga didenda Rp. 200 juta dengan subsider 3 bulan penjara dan wajib mengembalikan uang negara sebesar Rp. 2,548 miliar.</div><a name='more'></a><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"> Putusan MA tersebut ternyata menimbulkan sikap reaktif pejabat daerah. Wakil Bupati Subang, Ojang Sohandi melontarkan sebuah pernyataaan yang mencengangkan publik.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">“Saya Ojang Sohandi selaku Wakil Bupati Subang yang berpasangan dengan Mang Eep Hidayat, tanpa tekanan dari mana pun. Hari ini menyatakan bahwa sebelum ditegakkan keadilan khususnya kepada saudara, kawan saya dan guru saya dan juga bapak saya Mang Eep Hidayat yang dinyatakan Makamah Agung (MA) bersalah dicabut kembali. Kami tidak akan melaksanakan tugas sebagai Wakil Bupati Subang. Dengan kesadaran sendiri saya tidak siap dilantik menjadi Bupati Subang. Tugas kami dan juga tugas Pemkab Subang sepenuhnya akan diserahkan kepada Presiden SBY melalui bapak Menteri Dalam Negeri RI” (<a href="http://www.jppn.com/"><span style="color: windowtext; text-decoration: none;">www.jppn.com</span></a>).</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Bahkan Ketua DPRD Subang, Atin Supriatin, sebagaimana dilansir situs tersebut menyatakan tidak akan menjalankan tugas kelembagaan legislatif, sebelum Eep Hidayat dan Ojang Sohandi dikukuhkan kembali menjadi Bupati dan Wakil Bupati Subang dan ia pun menyatakan saat ini sudah tidak percaya lagi terhadap supremasi hukum.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Pernyataan tersebut dinilai tidak etis disampaikan oleh pejabat publik yang terkesan mengandung konfrontasi terhadap lembaga peradilan. Harusnya, pejabat publik di daerah mampu mengontrol emosi dan tidak mengeluarkan pernyataan yang dapat memobilisasi masa mengarah pada sikap antipati terhadap lembaga peradilan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Sebagai negara hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">rechsstaat</i>) maka segala sendi bernegara dan berbangsa adalah berlandaskan hukum. Menurut Jimly Asshiddiqie, salah satu prinsip negara hukum adalah peradilan bebas dan tidak memihak. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin kebenaran dan keadilan, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan keputusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali kepada kebenaran dan keadilan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Segala proses penegakan hukum harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Produk hukum yang dikeluarkan lembaga peradilan harus ditaati bukan malah dilawan dengan arogansi kekuasaan yang dimiliki. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Demonstrasi menuntut perubahan putusan lembaga peradilan merupakan demonstrasi yang salah arah. Sebab demonstrasi sebagai bagian ekspresi menyatakan pendapat di muka umum yang dijamin undang-undang tidak pernah bermaksud untuk mempengaruhi kemerdekaan peradilan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Lembaga peradilan harus terbebas dari segala intervensi. Tidak boleh ada kekuasaan apapun yang berusaha mempengaruhi kemerdekaan yang dimiliki lembaga peradilan, termasuk oleh mobilisasi masa melalui demonstrasi. Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Menurut Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan pada: asas keseimbangan antara hak dan kewajiban, asas musyawarah dan mufakat, asas kepastian hukum dan keadilan, asas proporsionalitas, dan asas manfaat. Kemudian warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>Akibat Demonstrasi</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"> </b> </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"> Jika PNS melakukan aksi demonstrasi demi membela sebuah kepentingan penguasa yang terbelenggu kasus korupsi maka jelas menimbulkan berbagai ekses negatif. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>, melumpuhkan pelayanan publik. Jika rencana aksi mogok kerja dan demonstrasi dengan melibatkan PNS Subang benar-benar dilakukan maka hak masyarakat untuk mendapat pelayanan optimal menjadi tercederai.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">Perlu diingat bahwa PNS selain menjadi abdi negara, juga menjadi abdi masyarakat. Yang berarti segala aktivitas yang dilakukan PNS harus berorientasi untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Sikap mempersulit pelayanan kepada masyarakat harus dihilangkan, apalagi meninggalkan tugas melayani masyarakat sekedar demi sikap loyal kepada pimpinan dengan melawan hukum melalui aksi demonstrasi.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">PNS Subang haruslah tidak terpengaruh atas masalah hukum yang membelenggu bupatinya. Biarkan proses hukum berjalan sesuai aturan yang berlaku. Keinginan untuk mengusik atau bahkan mengintervensi peradilan demi kepentingan sang pemimpin harus dibuang jauh. PNS harus tetap fokus untuk melaksanakan tugas secara baik dengan selalu berusaha meningkatkan produktifitas kerja. Jangan sampai, APBD yang sebagian besar diperuntukan untuk belanja pegawai dan kebijakan pemerintah yang berulang kali menaikkan gaji pegawai menjadi sia-sia.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, terjebak dalam kepentingan politik. Aksi demonstrasi PNS memprotes putusan lembaga peradilan demi kepentingan pemimpin yang terjerat kasus korupsi dapat menjerumuskan diri PNS pada kepentingan politik kelompok tertentu. PNS harus berfikir jernih dan kritis menyikapi segala persoalan yang mengancam netralitas diri PNS.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">Rambu-rambu mengenai kewajiban dan larangan bagi PNS sebagaimana terurai dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 harus diperhatikan secara seksama dan dilaksanakan secara komprehensif. PNS harus mampu bekerja demi kepentingan publik, bukan untuk kepentingan politik kelompok tertentu.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Akhirnya, penulis berharap kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum tidak disalahartikan. Bebas di sini harus dimaknai bebas dengan penuh tanggung jawab, bukan bebas dalam arti serba boleh. Demonstrasi yang dilakukan masyarakat harus tetap berada pada jalur yang lurus, jangan sampai salah arah.</span><br />
<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> </span></div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-55518558510918765172012-03-25T16:41:00.003+07:002012-03-26T11:32:51.428+07:00Status Hak Keperdataan Anak Luar Kawin<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Oleh : Alamsyah</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">dimuat www.detik.com<br />
<br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"> Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan monumental dalam ranah hukum keluarga atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan Machica Mochtar, artis yang menikah secara <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sirri</i> dengan Moerdiono. Machica menuntut agar Pasal 2 ayat (2) yang mengatur masalah pencatatan perkawinan dan Pasal 43 ayat (1) yang mengatur status keperdataan anak luar kawin dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala akibatnya.</div><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Meskipun negara selama ini telah mewajibkan pencatatan perkawinan demi tertib administrasi namun ternyata pada tataran praktek masih banyak orang yang melakukan perkawinan tanpa dicatatkan dengan berbagai alasan. Pemenuhan persyaratan administratif perkawinan termasuk finansial terkesan masih dirasa membebani oleh sebagian orang untuk melakukan pencatatan. Belum lagi, masih terdapatnya praktek masyarakat yang mengawinkan anaknya di bawah umur yang diperbolehkan oleh undang-undang, yaitu belum berumur 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.<br />
<a name='more'></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Selain itu, banyak pria yang terganjal untuk melakukan pencatatan perkawinan karena ia masih terikat perkawinan dengan orang lain dan harus mendapat ijin menikah terlebih dahulu dari pengadilan padahal isteri pertama tidak menyetujui rencana suaminya untuk berpoligami serta ketiadaan syarat alternatif yaitu: isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan).Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat tidak diperolehnya perlindungan hukum yang diberikan oleh negara meskipun perkawinan dipandang sah karena dilakukan sesuai ketentuan masing-masing agama dan kepercayaannya. Tatkala salah satu pihak yang terikat perkawinan melakukan tindakan wanprestasi maka pihak yang merasa dirugikan akan kesulitan mengajukan gugatan karena ketiadaan akta autentik untuk membuktikan adanya ikatan perkawinan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Masalah krusial lain dalam hukum keluarga adalah status hak keperdataan anak luar kawin yang menurut undang-undang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Aturan ini dirasa tidak adil bagi kepentingan anak. Sebab seorang anak yang tidak berbuat dosa harus menanggung kesalahan yang diperbuat oleh orang tuanya, padahal pria yang menyebabkan kelahiran anak tersebut terbebas dari kewajiban hukum untuk memelihara, mendidik dan memberikan perlindungan yang seharusnya diberikan orang tua kepada anak. </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Dengan melakukan pemahaman secara <i style="mso-bidi-font-style: normal;">a contrario </i> terhadap pengertian anak sah sebagaimana tercantum dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan maka anak luar kawin (anak tidak sah) dapat diartikan sebagai anak yang tidak dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pada tataran praktek, misalnya dapat dilihat pada anak yang lahir akibat hubungan seks bebas dan pemerkosaan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"> </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"> Selain peniadaan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah dan keluarga ayahnya, anak luar kawin terkadang masih mendapat <i style="mso-bidi-font-style: normal;">stigma</i> negatif masyarakat. Istilah “anak haram” dan lainnya yang sering disematkan sebagian orang kepada anak luar kawin dinilai sebagai sanksi sosial tanpa dasar karena sang anak tidak bersalah dan tidak pernah berharap dilahirkan dari orang tua yang tidak memiliki ikatan perkawinan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>Akibat Putusan MK</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Putusan MK yang dibacakan tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan tuntutan Machica Mochtar mengenai status keperdataan anak luar kawin sebagai berikut:</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span style="font-family: Wingdings;"><span style="font: 7pt "Times New Roman";"></span></span> Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.<span style="font-family: Wingdings;"><span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="font-family: Wingdings;"><span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">harus dibaca</b>, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Putusan MK tersebut tentu akan berakibat pada perombakan hukum keluarga di Indonesia secara signifikan. Hukum positif selama ini menempatkan status hukum anak luar kawin berbeda dengan anak sah. Anak luar kawin diperlakukan secara berbeda karena hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, yang berarti tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah maupun keluarga ayahnya.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Perubahan status hak keperdataan anak luar kawin menimbulkan beberapa akibat hukum. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>, kewajiban <i style="mso-bidi-font-style: normal;">alimentasi</i> bagi laki-laki yang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah sebagai ayah dari anak luar kawin. Seorang ayah biologis sudah tidak bisa mengelak lagi atas kewajiban hukum untuk memelihara dan mendidik anak dengan alasan ketiadaan ikatan perkawinan yang sah dengan ibunya. Ayah harus memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan anak tersebut meskipun ia tidak terikat perkawinan dengan ibunya, atau bahkan sang ayah terikat perkawinan dengan orang lain.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Penghapusan perlakuan diskriminatif terhadap anak luar kawin tentu akan memberikan nilai kebaikan bagi masa depan anak. Kewajiban <i style="mso-bidi-font-style: normal;">alimentasi</i> yang selama ini hanya dipikul sendirian oleh seorang ibu kini berganti dipikul bersama seorang laki-laki sebagai ayah yang dapat dibuktikan memiliki hubungan darah dengan sang anak. Jika seorang ayah melalaikan kewajiban terhadap anaknya maka konsekuensi hukumnya ia dapat digugat ke pengadilan. Pendek kata, kebaikan masa depan anak luar kawin menjadi lebih terjamin dan dilindungi oleh hukum.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i>Kedua</i>, hak anak luar kawin atas harta warisan. Pengakuan anak luar kawin memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya maka tentu akan berakibat pada hak seorang anak mendapat harta warisan. Kedudukan anak luar kawin menjadi setara dengan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah, anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah dan tidak mempunyai hubungan kewarisan dengan ayah karena tidak adanya nasab yang sah, hanya mempunyai hubungan kewarisan dengan ibunya saja. Kemudian dalam Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga ibunya”.</div><br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Putusan MK mengenai status hak keperdataan anak luar kawin merupakan suatu ijtihad revolusioner karena selama ini dipahami dalam konsep fiqh dan praktek hukum dalam peradilan agama, anak luar kawin tidak memiliki hak saling mewaris dengan ayahnya karena ketiadaan nasab yang sah. Dengan putusan MK ini menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">persona in judicio</i>) dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum.</span><br />
<br />
<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"></span></div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-66834258437864706902012-03-25T16:35:00.002+07:002012-03-26T18:07:27.354+07:00Memutus Perkara Bebas Tendensi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Oleh : Alamsyah<br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Hakim memikul tanggung jawab yang sangat berat ketika memutus perkara. Putusan yang dijatuhkan hakim tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada para pihak namun juga di hadapan sang khalik. Keberadaan irah-irah “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” dalam setiap putusan bukanlah sekedar formalitas bentuk belaka, namun mengandung maksud yang begitu dalam agar putusan hakim harus benar-benar mengandung keadilan yang berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Memaknai keadilan memang sangat sulit, terlebih keadilan berdasarkan atas ketuhanan. Keadilan yang diberikan hakim melalui putusannya, tidak selalu dipandang adil bagi para pihak maupun masyarakat. Pihak yang menang tentu mempersepsikan bahwa putusan hakim tersebut telah memenuhi nilai keadilan namun bagi pihak yang kalah dominan mengatakan putusan tersebut bernilai tidak adil.</div><a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Demi memperoleh putusan yang berkeadilan diperlukan sikap hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terbebas dari tendensi atau kecenderungan berpihak kepada salah satu pihak. Pihak yang berkedudukan sebagai penggugat maupun tergugat dalam ranah perdata dan pihak yang berkedudukan sebagai jaksa penuntut dan terdakwa beserta pembelanya harus diperlakukan sama dalam pemeriksaan perkara di persidangan. Hakim harus bersikap tidak berpihak dan memandang sama para pihak, tidak membeda-bedakan orang. Keunggulan dalam ranah sosial karena memiliki jabatan, harta kekayaan, keturunan, bentuk fisik, dan sebagainya tidak berlaku bagi hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, baik pidana maupun perdata karena semua orang adalah dipandang sama di hadapan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">equality before the law</i>).</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Kesamaan kedudukan setiap orang di hadapan hukum dan ketidakberpihakan dalam pemeriksaan perkara di persidangan telah diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kemudian Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Ketentuan ini jelas menahbiskan tentang keharusan hakim memutus perkara tanpa keberpihakan kepada salah satu pihak (imparsial). Jika hakim dalam memutus perkara sudah ada kecenderungan untuk berpihak maka sangat sulit untuk memperoleh mahkota hakim berupa putusan yang penuh keadilan.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3) sampai (5) bahwa hakim wajib mengundurkan diri apabila:</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">a.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">b.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">c.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Ketentuan ini adalah bentuk antisipasi agar tidak terjadi keberpihakan hakim dalam memutus perkara karena adanya konflik kepentingan maupun hubungan tertentu. Bahkan apabila ketentuan ini tidak diindahkan maka menurut ketentuan ayat (6) pasal di atas, putusan dinyatakan tidak sah dan hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Sejalan dengan ketentuan perundang-undangan, salah satu prinsip dasar dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah berperilaku adil. Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberi kesempatan yang sama (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">equality and fairness</i>) terhadap setiap orang. Orang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Di samping itu, al-qur’an juga telah mengatur perintah untuk bersikap adil yang tercantum dalam beberapa ayat, di antaranya sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>Q.S al-Hadid ayat: 25, yang artinya, “sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>Q.S al-Maidah ayat: 8, yang artinya, “hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span style="font-family: "(normal text)";">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span>Q.S al-A’raf ayat: 29, yang artinya, “katakanlah Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan …”.<span style="font-family: "(normal text)";"></span></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;">4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span>Q.S an-Nahl ayat: 90, yang artinya, “sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Dalam sejarah peradilan Islam, tentu kita masih mengingat risalah Khalifah Umar bin Khattab, yang salah satu item isinya menyebutkan “persamakanlah kedudukan manusia dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu sehingga seorang yang terhormat (bangsawan) tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemah tidak berputus asa atas keadilanmu”. Risalah Umar bin Khattab tersebut mengandung pesan bagi hakim ketika memeriksa perkara harus memandang sama kedudukan orang dan menghilangkan kecenderungan untuk berpihak sehingga akan dapat diperoleh putusan hukum yang mengandung keadilan dan tetap terpeliharanya kepercayaan publik mengenai masih adanya keadilan yang diberikan oleh pengadilan, keadilan yang tidak berpihak dan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">background</i> apapun.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Nah, persoalan yang kini muncul adalah bagaimana cara bersikap hakim agar terbebas dari tendensi atau kecenderungan untuk berpihak dalam memeriksa dan memutus perkara demi mewujudkan putusan yang berkeadilan. Berikut penulis kemukakan beberapa langkah yang dapat diterapkan dalam praktek sebagai hakim.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>, menanamkan keikhlasan dalam memutus perkara dan memegang prinsip bahwa memutus perkara adalah tugas mulia semata demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Hati yang ikhlas dan prinsip yang kuat merupakan modal penting bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara agar terbebas dari keberpihakan dan pengaruh-pengaruh duniawi yang menggadaikan keluhuran tugas sebagai hakim. </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Tentu masih melekat dalam benak kita, hadis tentang tipologi hakim yang menyebutkan, “Hakim-hakim itu ada tiga golongan. Satu golongan di surga dan dua golongan di neraka. Adapun hakim yang di surga adalah hakim yang mengetahui akan kebenaran lalu ia memberikan keputusan berdasarkan kebenaran itu. Seorang hakim yang mengetahui akan kebenaran lalu ia curang dalam mengambil keputusan maka ia ditempatkan di neraka. Dan seorang hakim yang memberikan keputusan kepada manusia berdasarkan kebodohannya maka ia di tempatkan di neraka (HR. Abu Dawud). </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Hadis di atas memberi peringatan bahwa hakim yang masuk neraka tidak hanya hakim yang tidak memiliki keilmuan dalam memutus perkara tetapi juga hakim yang memiliki keilmuan tetapi menyelewengkan keilmuannya tersebut dengan putusan yang curang semata didasarkan atas kepentingan tertentu atau keberpihakan kepada salah satu pihak. Perlu diingat, bahwa dalam setiap putusan hakim terdapat irah-irah yang menunjukkan bahwa putusan yang dijatuhkan hakim telah mengatasnamakan tuhan. Adanya adagium “hakim sebagi wakil tuhan” harus dipahami secara seksama dan dijaga secara benar maknanya dalam praktek. </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><i>Kedua</i>, menerapkan asas <i style="mso-bidi-font-style: normal;">audi et alteram partem</i> dalam pemeriksaan perkara di persidangan secara benar. Hakim harus mendengar keterangan para pihak, tidak boleh hanya mendengar salah satu pihak saja dan mengesampingkan pihak lain. Segala fakta dan dalil hukum yang disampaikan para pihak harus diperhatikan secara seksama oleh hakim, tanpa membedakan berasal dari pihak mana.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Pemberian kesempatan kepada para pihak pun harus dilakukan secara adil dan berimbang sesuai aturan hukum yang berlaku. Jangan ada penghilangan hak-hak para pihak dalam proses persidangan, meskipun perkara yang sedang ditangani hakim adalah bersifat tertutup atau tidak mendapat sorotan publik.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Perilaku hakim dalam bersikap, berbicara, bahkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">gesture</i> tubuh dalam memeriksa perkara di persidangan harus juga tidak mencerminkan keberpihakan kepada salah satu pihak. Dalam hal demikian, seringkali hakim lupa ataupun tidak menyadari bahwa sikap yang diperbuatnya di persidangan menimbulkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">image</i> memihak salah pihak. Untuk itu, selain menjaga sikap selalu berhati-hati dalam memeriksa perkara juga sepatutnya sebelum memulai persidangan, hakim selalu berdoa agar terhindar dari sikap yang berpihak dan mampu terus berada di jalan yang lurus. </div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><i>Ketiga</i>, tidak menerima segala pemberian apapun dari para pihak yang berperkara. Jika seorang hakim menerima suatu pemberian dari pihak berperkara maka jelas akan mempengaruhi obyektifitas hakim dalam memutus suatu perkara. Hakim menjadi tersandera dengan pemberian tersebut yang berimbas pada sikap keberpihakan dalam pemeriksaan di persidangan maupun pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Salah satu prinsip dasar dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yaitu prinsip berperilaku jujur menentukan bahwa hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau isteri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari: advokat, penuntut, orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili, atau pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan yang secara wajar (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">reasonable</i>) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya. Pengecualiaan dari ketentuan ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">circumstances</i>) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Ajaran Islam menentukan secara tegas larangan memperoleh harta dengan jalan yang batil dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">riswah</i> merupakan sesuatu yang dilarang. Allah telah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 188, yang menyebutkan, “dan janganlah kamu makan harta benda sebagian kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu menyodorkan harta itu kepada para hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan yang dosa, padahal kamu mengetahui”. Kemudian secara tegas disebutkan dalam sebuah hadis, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap dalam memutus perkara” (HR. Ahmad).</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Muncul sebuah pertanyaan, apakah boleh menerima pemberian dari para pihak atau pihak lain yang berkepentingan dengan perkara yang ditangani hakim ketika perkara sudah putus bahkan telah berkekuatan hukum tetap, yang tidak berpengaruh pada putusan atau keberlanjutan perkara?</div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Menurut penulis, larangan menerima pemberian dari pihak berperkara atau pihak terkait tidak terbatas hanya pada waktu perkara belum diputus atau perkara sudah diputus namun masih dalam proses upaya hukum namun juga meliputi ketika suatu perkara telah diputus atau telah berkekuatan hukum tetap dengan alasan sebagai berikut: Pertama, apabila hakim menerima suatu pemberian dari salah satu pihak meskipun perkara telah diputus akan menimbulkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">image</i> atau dapat dipersepsikan oleh pihak lain bahkan masyarakat adanya suatu keberpihakan. Akan muncul asumsi bahwa pemberian tersebut mengandung maksud tertentu dan merupakan bagian skenario yang telah diperjanjikan di awal oleh salah satu pihak kepada hakim meskipun senyatanya pemberian tersebut bukan suatu konspirasi atau sekedar ucapan terima kasih belaka.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> </span> <br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 200%; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;">Kedua, pemberian tersebut dapat mengurangi keikhlasan hakim dalam memutus perkara. Sikap menerima pemberian dari pihak berperkara atau pihak lain setelah perkara diputus dapat mengurangi keikhlasan hakim yang sebelumnya telah tertanam dalam diri hakim karena setelah hakim memutus perkara ternyata masih mau menerima suatu pemberian dari pihak berperkara. Selain itu, akan memunculkan suatu pengharapan bagi hakim tentang suatu imbalan yang akan diberikan pihak berperkara terutama pihak yang menang tatkala suatu perkara telah diputus. Hal demikian tentu juga akan berpengaruh pada kewibawaan dan martabat hakim di mata pencari keadilan maupun masyarakat luas.</div></div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-47310253608503241702012-03-25T16:31:00.001+07:002012-03-26T11:32:51.428+07:00Stop Anarkisme Ormas<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Oleh: Alamsyah </div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Munculnya gerakan menuntut pembubaran ormas anarkistis melalui aksi demostrasi maupun jejaring sosial merupakan bentuk perlawanan masyarakat yang telah muak akan perilaku ormas yang mengusik kedamaian dan ketertiban masyarakat. Kritik yang selama ini ditujukan kepada pemerintah dan aparat berganti menjadi aksi seiring hilangnya kesabaran untuk terus menunggu ketegasan pemerintah dalam menindak kebrutalan ormas. Tidak bisa ditolerir, tindakan bermotif apapun melalui kekerasan dan legitimasi kriminal di tengah masyarakat meskipun mengatasnamakan agama.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi dan menjadi bagian perjuangan reformasi ‘98 tidak berarti memberi kebebasan tanpa batas dalam berorganisasi. Kegiatan organisasi harus relevan dengan ketentuan perundang-undangan yang telah digariskan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Jangan sampai, keberadaan ormas yang semestinya memainkan peran positif dalam pembangunan bangsa malah menciptakan kekacauan di tengah masyarakat.<br />
<a name='more'></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Fungsi ormas adalah sebagai: wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya; wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi; wadah peran serta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional; sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar ormas, dan antara ormas dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan pemerintah (Psl. 6 UU Ormas).</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>Peran Negara</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Negara harus memainkan perannya dalam menciptakan kenyamanan bagi setiap warga negara, tanpa membeda-bedakan orang. Gerakan yang dengan sengaja menciptakan keresahan masyarakat melalui aksi kekerasan dan pengrusakan berbagai fasilitas umum maupun bangunan milik orang lain haruslah ditindak segera tegas. Tentu masih melekat dalam benak kita, pernyatan Presiden SBY pada sambutan perayaan Hari Pers Nasional di Kupang tahun 2011, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi-aksi kekerasan, yang bukan hanya meresahkan masyarakat luas, tapi nyata-nyata telah banyak menimbulkan korban, pada para penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah dan legal untuk bisa perlu dilakukan pembubaran atau perubahan”</i> hendaknya bukan hanya sekedar pernyataan untuk meredam kegusaran masyarakat belaka namun harus dimanifestasikan melalui tindakan.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Kepolisian secara nyata harus berani bertindak secara tegas terhadap setiap aksi kekerasan yang dilakukan ormas dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">background</i> apapun. Ketentuan dalam KUHP maupun undang-undang terkait harus secara maksimal digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan, pengrusakan, dan pembuat keonaran dalam masyarakat. Namun demikian, upaya kepolisian tidak hanya terfokus pada tindakan represif namun harus diikuti tindakan preventif terhadap semua ormas. Kegiatan ormas yang mengarah pada tindakan anarkis harus mampu dibaca dan segera dilakukan tindakan pencegahan oleh kepolisian agar terhindar dari munculnya korban dan kerugian yang berdampak besar bagi masyarakat luas.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Dalih yang sering dilontarkan massa ormas yang berbuat anarkis semisal <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sweeping</i> tempat perjudian, pelacuran, dan produksi miras illegal karena kepolisian lamban atau terkesan membiarkan praktek maksiat yang terjadi di masyarakat sehingga mereka tergerak untuk mengambil alih tugas yang seharusnya dilakukan oleh kepolisian tidak bisa menjadi alasan pembenar atas perilaku anarkis ormas. Begitu pula, tindakan ormas secara frontal menyerang golongan atau kelompok tertentu yang berbeda pandangan juga tidak bisa dibiarkan, semisal tahun 2008 adanya penyerangan Front Pembela Islam (FPI) kepada kelompok Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Monas bahkan dalam tayangan salah satu media televisi swasta, Selasa (14/02/2012), terjadi aksi kekerasan ormas di Yogyakarta terhadap seniman yang melakukan aksi teatrikal. Dalih “memberantas maksiat” melalui tindakan anarkis oleh ormas memang tidak bisa melegitimasi dan menghilangkan tanggung jawab pidana pelakunya, namun kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya harus semakin terlecut untuk melaksanakan tugas secara optimal dan cepat dalam menindak kejahatan atau kemaksiatan yang melanggar undang-undang yang terjadi di masyarakat.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Selain itu, institusi negara dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pemberian sanksi terhadap ormas harus menunjukkan eksistensinya. Kementerian tersebut harus bersikap proaktif untuk menindak ormas yang melakukan tindakan anarkis secara tegas tanpa harus terlebih dahulu menunggu kritik pedas bahkan aksi demostrasi masyarakat yang melakukan perlawanan, baik melalui sanksi administratif, pembekuan bahkan jika diperlukan pembubaran ormas. Jika sikap tegas dan cepat dilakukan oleh instansi tersebut maka tentu akan berdampak pada berkurangnya anarkisme ormas.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Peran masyarakat dalam memaknai kebebasan berorganisasi dan fungsi pendirian ormas, pendek kata budaya sadar hukum juga sangat diperlukan. Timbulnya degradasi budaya hukum di masyarakat ditandai dengan meningkatnya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">apatisme</i> seiring dengan menurutnya tingkat apresiasi masyarakat kepada substansi hukum maupun struktur hukum. Hal ini telah tercermin dari peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di masyarakat. Pada tataran akar rumput, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku kriminal, pelaksanaan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sweeping</i> oleh sebagian anggota masyarakat yang terjadi secara terus menerus tidak seharusnya dilihat sebagai sekedar <i style="mso-bidi-font-style: normal;">euforia</i> pasca reformasi. Dibalik itu tercermin rendahnya budaya hukum masyarakat karena kebebasan telah diartikan sebagai “serba boleh”. Padahal hukum adalah instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan sosial. Sebagai akibatnya timbul ketidakpastian hukum yang tercipta melalui proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang atau dengan kata lain hukum hanya merupakan instrumen pembenar bagi perilaku salah (M. Wahyudin Husein dan Hufron: 2008).</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>Urgensi Perubahan UU</b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Keberlakuan undang-undang ormas yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 sudah 26 tahun lebih menjadi pijakan hukum bagi kehidupan ormas di Indonesia. Undang-undang ini dinilai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">out off date</i> dengan perkembangan kehidupan berorganisasi masyarakat Indonesia yang berubah pesat seiring bergulirnya reformasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 13, pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat ormas apabila ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, dan memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. Pasal ini dinilai mengandung banyak kelemahan yaitu dapat digunakan menjadi pasal karet yang jelas bertolak belakang dengan semangat reformasi. Kalimat “mengganggu keamanan dan ketertiban umum” adalah bersifat umum dan dapat digunakan secara sewenang-wenang jika tidak ada acuan yang mengatur secara jelas dan rinci. Selain itu, pasal tersebut belum mampu menjangkau terhadap tindakan anarkis ormas yang beragam yang marak terjadi belakangan ini. Beberapa ormas ditengarai begitu gampang melakukan penyerangan kepada kelompok lain, yang jelas-jelas hal itu melanggar aturan hukum dan hak asasi manusia. Harus diatur secara jelas dan komprehensif, tindakan ormas yang kemudian dapat dilakukan pembekuan dan pembubaran.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;">Pernyataan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang dikutip beberapa media, menunjukkan keinginan pemerintah untuk menyederhanakan proses pembekuan dan pembubaran ormas yang anarkis. UU Ormas sekarang dinilai rumit sehingga mekanisme pembubaran ormas dinilai berbelit-belit dan terlalu panjang.</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">Namun, aturan pembekuan dan pembubaran ormas bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat. Aturan tersebut hanya memberikan batasan bahwa tindakan atau kegiatan ormas harus tetap menjunjung tinggi prinsip negara hukum. Bebas bukan dimaknai bebas melakukan tindakan yang melawan hukum, namun harus dimaknai bebas yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Perlu diingat, sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya bahwa seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah mendasarkan pada aturan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">rechtsstaat</i>), bukan kekuasaan belaka (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">machtsstaat</i>). </div><br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;"> Mekanisme pembinaan dan pengawasan ormas harus juga diatur secara tegas dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">integrated</i>. Ribuan ormas yang ada di Indonesia yang tercatat di berbagai kementerian tentu menyulitkan dalam hal pembinaan dan penindakan atas perilaku ormas menyimpang. Perlu pengaturan mekanisme pendirian ormas dan lembaga mana yang mempunyai kewenangan untuk mengaturnya mulai tingkat pusat hingga daerah. Dengan demikian, diharapkan keberadaan ormas sungguh dapat menjadi wadah aspirasi masyarakat dengan tetap berorientasi pada penciptaan ketertiban sosial dan berperan penting bagi pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.</span></div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-48711441664210883522012-03-25T16:27:00.001+07:002012-03-26T11:33:11.074+07:00Klausula Eksemsi dalam Kontrak Baku Syariah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="IN">Oleh: Alamsyah</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><span lang="IN"> </span><b><span lang="IN"> </span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;"><b><span lang="IN">Pendahuluan</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Eksistensi kontrak bernilai urgen bagi kehidupan manusia karena dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan manusia yang tidak mampu dipenuhi sendiri tanpa bantuan orang lain. Aturan main dalam pemenuhan kebutuhan dengan melibatkan orang lain haruslah jelas dan dewasa ini perlu dituangkan dalam suatu kontrak yang dapat melindungi kepentingan masing-masing pihak. Sehingga dapatlah dipahami apabila kontrak dikatakan sebagai sarana sosial dalam peradaban manusia untuk mendukung kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Perkembangan dunia bisnis yang terus meningkat ternyata juga diikuti dengan tuntutan penggunaan model kontrak yang simple, efisien, dan mampu menampung kepentingan para pelaku bisnis melalui kontrak baku (<i>standard contract</i>). Dengan kontrak baku ini, pelaku bisnis terutama produsen dan kreditur telah menyiapkan klausula-klausula baku yang dituangkan dalam suatu kontrak tertentu. Pihak konsumen atau debitur tinggal membaca isi kontrak baku tersebut dengan pilihan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">take it or leave it </i>sehingga kesempatan untuk bernegosiasi sebagai proses awal memperoleh kata sepakat sangat kecil bahkan terabaikan.</span><br />
<a name='more'></a></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Kontrak baku dalam dunia bisnis dalam prakteknya tidak hanya dilakukan dalam transaksi konvensional tetapi juga banyak dilakukan dalam transaksi yang berlandaskan pada prinsip syariah oleh lembaga keuangan bank maupun non-bank. Hal ini menunjukkan bahwa keberlakuan kontrak baku memang sudah menjadi suatu keniscayaan bisnis yang dapat diterima keberadaannya oleh masyarakat dengan segala kelebihan dan kekurangannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Penggunaan kontrak baku sebagai wujud efisiensi bisnis oleh para pelaku usaha terutama pihak yang memiliki posisi dominan dalam melakukan transaksi ternyata juga dipakai untuk memperoleh keuntungan (benefits) dengan cara mencantumkan klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak. Klausula eksemsi yang biasa tercantum dalam kontrak baku tentu menjadi masalah terlebih dalam kontrak syariah yang mengedepankan pemberlakuan prinsip syariah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Berdasarkan uraian di atas, dalam tulisan ini akan diuraikan pembahasan mengenai kontrak baku dan klausula eksemsi serta analisis terhadap klausula-klausula dalam kontrak syariah yang dinilai mengandung klausula eksemsi.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN">Pembahasan</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l2 level1 lfo2; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="IN">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Kontrak Baku</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Kontrak atau perjanjian pada dasarnya dibuat berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang memiliki kedudukan seimbang dan kedua pihak berusaha mencapai kata sepakat melalui proses negosiasi. Dalam perkembangannya, banyak perjanjian dalam transaksi bisnis bukan terjadi melalui negosiasi yang seimbang di antara para pihak. Salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada formulir perjanjian yang sudah ada kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian disebut sebagai perjanjian baku atau perjanjian standar atau perjanjian <i style="mso-bidi-font-style: normal;">adhesi</i>.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn1" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></a> Kata baku atau standar artinya tolok ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang menandakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku meliputi model, rumusan dan ukuran.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn2" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Kontrak baku adalah kontrak yang telah dibuat secara baku (<i>form standard</i>), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blangko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis, dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya sehingga tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn3" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[3]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Ada pendapat beberapa ahli hukum mengenai keabsahan kontrak baku adalah sebagai berikut:<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn4" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[4]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l5 level1 lfo3; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Pitlo berpendapat bahwa kontrak baku merupakan kontrak paksaan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">dwang contract</i>) karena kebebasan para pihak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata sudah dilanggar sedangkan pihak yang lemah terpaksa menerimanya sebab mereka tidak mampu berbuat lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l5 level1 lfo3; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Sluyter berpendapat bahwa perbuatan kreditur secara sepihak menentukan isi kontrak standar secara materiil melahirkan pembentuk undang-undang swasta (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">legio particuliere wetgevers</i>).</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l5 level1 lfo3; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Stein berpendapat bahwa dasar berlakunya kontrak baku atau standar adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">de fictie van will of vertrouwen</i> sehingga kebebasan kehendak yang sunguh-sungguh tidak ada pada para pihak, khususnya debitur.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Menurut Subekti, pelangaran terhadap asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata <i style="mso-bidi-font-style: normal;">jo</i>. Pasal 1338 KUH Perdata mengakibatkan kontrak menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang. Kemudian menurut Hardijan Rusli, kontrak baku menjadi tidak patut atau tidak adil jika kontrak itu terbentuk pada suatu hubungan atau keadaan yang tidak seimbang. Jika kepatutan atau ketidakadilan itu terjadi pada suatu hubungan para pihak tidak seimbang, maka keadaan ini dinamakan <i>undue influence</i>. Sedangkan jika ketidakadilan terjadi pada suatu keadaan (bukan hubungan) yang tidak seimbang, maka hal ini dinamakan <i>unconscionability</i>. <i>Undue influence</i> dipandang dari akibat ketidakseimbangan itu terhadap pemberian kesempatan dari pihak yang dipengaruhi, sedangkan <i>unconscionability</i> dipandang dari kelakuan pihak yang kuat dalam usahanya memaksakan atau memanfaatkan transaksinya terhadap orang yang lemah.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn5" name="_ftnref5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[5]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), klausula baku dimaknai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh konsumen.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Lebih lanjut Pasal 18 ayat (1) UUPK menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuatnya apabila:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">a.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">b.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">c.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">d.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">e.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">f.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">g.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l4 level1 lfo4; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">h.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN">dan dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK, pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Pemberlakuan kontrak baku dalam praktek transaksi syariah harus tetap berlandaskan pada prinsip syariah. Menurut Iswahyudi A. Karim, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kontrak syariah adalah hal yang diperjanjikan dan obyek transaksi harus halal menurut syariat, tidak terdapat ketidakjelasan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">gharar</i>) dalam rumusan akad maupun prestasi yang diperjanjikan, para pihaknya tidak menzalimi dan tidak dizalimi, transaksi harus adil, transaksi tidak mengandung unsur perjudian (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">maisyir</i>), terdapat prinsip kehati-hatian, tidak membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam ataupun barang najis (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">najsy</i>), dan tidak mengandung riba.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn6" name="_ftnref6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[6]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Di samping itu, perlu diperhatikan beberapa asas yang berlaku dalam hukum perikatan Islam, yaitu sebagai berikut:<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn7" name="_ftnref7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[7]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo5; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">a.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Asas kebebasan berkontrak (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-hurriyah</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Suatu kontrak dalam hukum Islam harus dilandasi adanya kebebasan berkehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak yang mengadakan transaksi (Q.S.4: 29). Menurut Faturrahman Djamil, bahwa syariat Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn8" name="_ftnref8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[8]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo5; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">b.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Asas konsensualisme (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">ar-ridha’iyah</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Asas ini menekankan adanya kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menyatakan keinginannya dalam mengadakan transaksi. Suatu akad baru lahir setelah dilaksanakan ijab dan kabul. Dalam hal ini diperlukan kejelasan pernyataan kehendak dan harus adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Selain itu, harus adanya komunikasi antara para pihak yang bertransaksi dan di sini juga diperlukan adanya kerelaan kedua pihak mengenai hal-hal yang diakadkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Mengenai kerelaan ini, harus terwujud dengan adanya kebebasan berkehendak dari masing-masing pihak yang bersangkutan dalam transaksi tersebut. Pada asas konsensualisme ini, kebebasan berkehendak dari para pihak harus selalu diperhatikan. Pelanggaran terhadap kebebasan kehendak itu berakibat tidak dapat dibenarkannya akad tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo5; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">c.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Asas persamaan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-musawamah</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat dan kesetaraan para pihak dalam bertransaksi. Apabila ada kondisi yang menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan maka undang-undang dapat mengatur batasan hak dan kewajiban dan meluruskan kedudukan para pihak melalui pengaturan klausula dalam kontrak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo5; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">d.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Asas keadilan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">al-adalah</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Menurut Yusuf Qardhawi, keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu, baik moral ataupun materiil, antara individu dan masyarakat, dan antara masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan pada syariat Islam.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn9" name="_ftnref9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[9]</span></span></span></a> Asas keadilan dalam hal ini menuntut para pihak yang berkontrak untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi kontrak yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya. Asas ini juga berarti bahwa segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo5; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">e.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Asas kejujuran dan kebenaran (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">as-shidiq</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Kejujuran adalah satu nilai etika mendasar dalam Islam. Allah memerintahkan semua muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perkataan (QS. 33: 70). Nilai kebenaran memberikan pengaruh kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan. Apabila asas ini tidak dilaksanakan maka akan merusak legalitas akad yang dibuat. Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">madharat</i> adalah dilarang.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn10" name="_ftnref10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[10]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo5; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">f.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Asas manfaat</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Asas ini memperingatkan bahwa sesuatu bentuk transaksi dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Dalam suatu kontrak, objek apa yang akan diakadkan pada tiap akad yang diadakan haruslah mengandung manfaat bagi kedua belah pihak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l0 level1 lfo5; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">g.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Asas saling menguntungkan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">at-ta’awun</i>)</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Setiap akad yang dilakukan haruslah bersifat saling menguntungkan semua pihak yang melakukan akad.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Lebih lanjut, mengenai kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah menurut Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l1 level1 lfo6; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">a.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">fadhl</i>), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">nasi’ah</i>);</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l1 level1 lfo6; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">b.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN">Maisir</span></i><span lang="IN">, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l1 level1 lfo6; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">c.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="IN">Gharar</span></i><span lang="IN">, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur dalam syariah;</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l1 level1 lfo6; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">d.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah, atau ; </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l1 level1 lfo6; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">e.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Berdasarkan uraian tentang asas-asas yang berlaku dalam perikatan Islam, beberapa prinsip syariah, dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kontrak syariah maka keberadaan klausula baku dalam kontrak syariah dinilai sah apabila tidak bertentangan dengan hal-hal tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l2 level1 lfo2; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: -18pt;"><span lang="IN">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Klausula Eksemsi</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Sumber malapetaka dalam suatu kontrak baku adalah terdapatnya beberapa klausula dalam kontrak tersebut yang memberatkan salah satu pihak. Klausula berat sebelah ini biasa disebut klausula eksemsi (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">exemtion clause</i>), dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">exoneratie clausule</i>. Yang dimaksud klausula eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn11" name="_ftnref11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[11]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Dalam KUH Perdata terdapat asas hukum yang dapat dipakai sebagai tolok ukur guna menentukan apakah substansi suatu klausul dalam kontrak baku merupakan klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnnya. Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata dapai dipakai sebagai salah satu tolok ukur yang dimaksud.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn12" name="_ftnref12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[12]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Pasal 1337 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu kausa adalah terlarang apabila kausa itu dilarang oleh undang-undang atau bertentangan sengan moral atau dengan keteriban umum. Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa isi atau klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, moral dan atau ketertiban umum.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Pasal 1339 KUH Perdata menyebutkan bahwa persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalam, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Pasal ini haruslah ditafsirkan bahwa bukan hanya ketentuan-ketentuan dari kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang yang membolehkan atau berisi suruhan saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu kontrak, melainkan juga ketentuan-ketentuan yang melarang atau berisi larangan mengikat atau berlaku bagi perjanjian itu. Dengan kata lain, larangan-larangan yang ditentukan (atau hal-hal yang terlarang) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang merupakan juga syarat-syarat dari suatu kontrak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Keabsahan kontrak baku ditentukan dari apakah kontrak baku tersebut berat sebelah atau tidak dan apakah mengandung klausula secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya sehingga kontrak baku tersebut dapat menindas dan tidak adil bagi pihak yang menggunakan kontrak baku tersebut. Maksud berat sebelah di sini adalah dalam kontrak tersebut hanya mencantumkan hak-hak dari salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan kontrak baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban pihaknya dan sebaliknya hanya atau terutama menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn13" name="_ftnref13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[13]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Secara yuridis-teknis, syarat eksemsi dalam suatu kontrak biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level1 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">a.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap kewajiban-kewajiban hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak. Misalnya dilakukan upaya perluasan pengertian <i>force majeure</i>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level1 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">b.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar. Misalnya pengurangan atau penghapusan ganti kerugian jika terjadi wanprestasi dari salah satu pihak dalam kontrak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level1 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">c.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak dalam kontrak. Misalnya, tanggung jawab salah satu pihak, tetapi dibebankan kepada pihak lain dalam hal terjadi kerugian kepada pihak ketiga yang berada di luar kontrak.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn14" name="_ftnref14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[14]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l2 level1 lfo2; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Analisis Klausula Eksemsi dalam Kontrak Syariah</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Berdasarkan penelaahan penulis terhadap beberapa kontrak syariah ditemukan beberapa klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak. Contoh pasal dalam kontrak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">murabahah</i> sebagai berikut:</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN">Pasal (dalam kontrak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">murabahah</i>)</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN">Pembatasan Terhadap Tindakan Pihak Kedua</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN">Selama jangka waktu perjanjian, Pihak Kedua tidak akan melakukan sebagian atau seluruhnya dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut, kecuali setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama:</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level4 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Melakukan akuisisi, merger, restrukturisasi dan/atau konsolidasi kegiatan usaha Pihak Kedua dengan pihak lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level4 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Menjual baik sebagian atau seluruhnya asset Pihak Kedua yang nyata-nyata mempengaruhi kemampuan atau cara membayar atau melunasi kewajiban Pihak Kedua atau sisa kewajiban Pihak Kedua kecuali menjual barang dagangan yang menjadi kegiatan usaha Pihak Kedua.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level4 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Membuat utang lain kepada pihak ketiga.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level4 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">4.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Melakukan investasi baru, baik yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan tujuan kegiatan usaha Pihak Kedua.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level4 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">5.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Memindahkan kedudukan/lokasi barang maupun barang jaminan dari kedudukan/lokasi barang itu semula atau sepatutnya berada, dan/atau mengalihkan hak atas barang atau jaminan yang bersangkutan kepada pihak lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; mso-list: l6 level4 lfo1; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">6.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Mengajukan kepada pihak yang berwenang untuk menunjuk eksekutor, curator, likuidator atau pengawas atas sebagian atau seluruh harta kekayaannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span lang="IN">Klausula yang ditetapkan pihak kreditur atau Pihak Pertama (dalam kontrak ini adalah KJKS) mengenai pembatasan tindakan debitur dalam melakukan tindakan bisnis jelas memberatkan debitur. Investasi baru serta melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga dalam rangka melakukan pengembangan bisnis harusnya tidak dikekang oleh pihak kreditur karena hal itu tidak berhubungan dengan kontrak yang dibuat, apalagi klausula tersebut terdapat dalam kontrak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">murabahah</i> pengadaan rumah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Pengalihan asset yang dimiliki debitur demi kepentingan bisnisnya harusnya tidak dikekang dengan keharusan mendapat persetujuan dari pihak kreditur karena dalam kontrak tersebut telah diatur adanya jaminan yang harus diberikan pihak debitur sebagai jaminan terlaksananya kewajiban debitur dalam kontrak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">murabahah</i> tersebut. Yang mana, kreditur menempatkan kedudukannya sebagai kreditur yang didahulukan. Seharusnya penambahan klausul dalam suatu kontrak tidaklah menjadikan suatu yang memberatkan salah satu pihak terlebih dalam kasus ini membatasi dalam hal melakukan tindakan dan pengembangan bisnis.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Klausula mengenai pembatasan tindakan yang memberatkan bagi debitur menunjukkan terjadinya ketidakadilan terhadap salah satu pihak di dalam kontrak. Harus diingat bahwa kegiatan usaha yang berlandaskan pada prinsip syariah, salah satunya harus tidak mengandung unsur <i style="mso-bidi-font-style: normal;">zalim</i> yaitu menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak. Adanya pembatasan tindakan terhadap salah satu pihak dalam kontrak haruslah dilakukan secara seimbang dengan hak yang dimiliki serta mempunyai relevansi yang kuat dengan tujuan dan substansi kontrak yang dibuat.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Suatu syarat atau ketentuan dibenarkan untuk dimasukkan sebagai klausul dalam suatu kontrak, yaitu <i>pertama</i>, syarat yang memperkuat konsekuensi kontrak. Maksudnya adalah bahwa syarat tersebut merupakan akibat hukum kontrak sendiri yang ditentukan oleh hukum syariah sehingga apakah syarat itu dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam kontrak sebagai klausul, tidak menambah hal baru dalam isi kontrak. <i>Kedua</i>, syarat yang selaras dengan akad. Maksudnya adalah syarat yang tidak merupakan konsekuensi kontrak, artinya tidak ditetapkan oleh hukum syariah, melainkan diperjanjikan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan dalam rangka memperkuat pelaksanaan kontrak. <i>Ketiga</i>, syarat yang telah berlaku dalam adat kebiasaan. <i>Keempat</i>, syarat yang mengandung manfaat bagi salah satu dari kedua belah pihak atau pihak ketiga selama tidak dilarang oleh hukum. Syarat-syarat selain dari empat tersebut tidak sah dan karena itu dinamakan fasid.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn15" name="_ftnref15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[15]</span></span></span></a></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN">Pasal (dalam kontrak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">murabahah</i>)</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN">Risiko-risiko</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN">Pihak Kedua bertanggung jawab untuk memeriksa dan meneliti kondisi barang yang dibeli dari pemasok, termasuk terhadap sahnya dokumen-dokumen atau surat-surat bukti kepemilikan barang Pihak Pertama tidak berkewajiban memeriksa kondisi barang dan tidak bertanggung jawab atas cacat-cacat tersembunyi atas barang serta tidak bertanggung jawab atas ketidakabsahan dokumen kepemilikan barang.</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><span lang="IN">Pasal (dalam kontrak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ijarah Muntahiya bit Tamlik</i>)</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 17.85pt; text-align: center;"><span lang="IN">Risiko-risiko</span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-left: 17.85pt; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">1. Pemilihan kendaraan dari dealer telah dilakukan sendiri oleh musta’jir semata-mata atas pertimbangan musta’jir sendiri, dan musta’jir bertanggung sendiri atas penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dengan dealer.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; mso-list: l1 level2 lfo6; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Kerusakan-kerusakan yang terjadi atau adanya cacat atas kendaraan tersebut di atas adalah menjadi tanggung jawab musta’jir sendiri, dan karenanya adalah menjadi tanggung jawab musta’jir untuk mengusahakan agar kendaraan tersebut diterima dan berada dalam keadaan layak pakai.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-left: 18.0pt; mso-list: l1 level2 lfo6; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Risiko atas rusaknya, musnahnya, dan/atau hilangnya kendaraan tersebut karena sebab pemakaian atau pengoperasian oleh must’ajir, atau pihak lain atas persetujuan musta’jir, atau sebab-sebab apapun juga termasuk <b style="mso-bidi-font-weight: normal;">sebab-sebab terjadinya peristiwa di luar kekuasaan manusia</b> adalah menjadi tanggung jawab musta’jir.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><span lang="IN">Klausula mengenai resiko dalam kontrak tersebut tentu memberatkan pembeli (nasabah) dalam kontrak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">murabahah</i> maupun musta’jir dalam kontrak IMBT karena mereka harus menanggung segala resiko yang terjadi dalam hal pembelian barang, yang mana barang yang menjadi objek kontrak diadakan olehnya sendiri yang mendapat kuasa dari bank atau mu’ajir. </span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Objek sewa dalam kontrak IMBT adalah milik mu’ajir. Apabila pengadaan obyek sewa mu’ajir menyerahkan pada musta’jir maka sebenarnya terjadi kontrak pemberian kuasa antara mu’ajir dengan musta’jir. Kontrak yang dilakukan oleh musta’jir dengan pihak ketiga (dealer) terjadi untuk kepentingan dari mu’ajir (sebagai <i>asil</i> atau pemberi kuasa). Inti pengertian perwakilan adalah bahwa seseorang bertindak hukum untuk orang lain. Meskipun kontrak dibuat oleh penerima kuasa / wakil, maka perjanjian itu adalah perjanjian antara <i>asil</i> (prinsipal), bukan antara wakil dengan pihak ketiga yang menjadi mitra janji. <i>Asil</i> (prinsipal) lah yang mendapatkan keuntungan dari kontrak tersebut dan yang bertanggung jawab atas kontrak tersebut.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn16" name="_ftnref16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[16]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Keberadaan klausula mengenai resiko dalam kontrak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">murabahah</i> maupun <i style="mso-bidi-font-style: normal;">ijarah muntahiya bit tamlik</i> (IMBT) sebagaimana diuraikan di atas, mengandung klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak karena terdapat pelimpahan tanggung jawab kepada salah satu pihak yaitu debitur atas risiko dalam pelaksanaan kontrak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Lebih lanjut ketentuan mengenai risiko pemakaian karena ada keadaan memaksa (<i>force majeur</i>) dalam kontrak IMBT di atas yang menjadi tanggung jawab musta’jir dinilai tidak adil dan mengandung klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i><span lang="IN">Force majeure </span></i><span lang="IN">adalah suatu keadaan di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjian karena hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tersebut.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn17" name="_ftnref17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[17]</span></span></span></a> Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">forje majeur</i> diartikan keadaan memaksa diakibatkan oleh suatu malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus berprestasi (Putusan MA RI nomor: 409K/Sip/1983). <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Forje majeur</i> juga dapat diartikan sebagai situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan (Putusan nomor: 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst).<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn18" name="_ftnref18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[18]</span></span></span></a></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Peristiwa yang dikategorikan sebagai <i style="mso-bidi-font-style: normal;">force majeur</i> membawa konsekuensi hukum kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi dan debitur tidak lagi dinyatakan wanprestasi sehingga debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur. Pasal 1553 KUH Perdata menyebutkan bahwa jika selama waktu sewa, barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dari perkataan gugur dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak tidak dapat menuntut sesuatu dari pihak lainnya. Dengan katan lain, risiko akibat kemusnahan barang dipikul seluruhnya oleh pemilik barang.<a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftn19" name="_ftnref19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="IN" style="font-size: 12pt;">[19]</span></span></span></a> Aturan ini kiranya tepat digunakan dalam menyelesaikan kasus musnahnya barang yang menjadi obyek IMBT karena di luar kekuasaan manusia (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">force majeure</i>) karena status kepemilikan barang yang merupakan objek IMBT berada pada pihak mu’ajir.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN">Penutup</span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span lang="IN">Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l3 level1 lfo7; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">1.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Keberadaan kontrak baku dalam dunia bisnis menjadi suatu keniscayaan sebagai wujud efisiensi bisnis dan dalam praktek telah diterima kehadirannya oleh masyarakat, termasuk kontrak baku syariah. Kontrak baku mengandung arti kontrak yang dibuat secara baku, yang mana salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada formulir kontrak yang sudah ada kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan kesempatan bernegosiasi yang terbatas. Keabsahan kontrak baku syariah ditentukan melalui apakah klausula-klausula baku yang tertera dalam kontrak syariah tersebut bertentangan dengan prinsip syariah atau tidak.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l3 level1 lfo7; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">2.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Klausula eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya. Sehingga keberadaan klasula eksemsi yang biasa tercantum dalam klausula baku sangat memberatkan salah satu pihak, biasanya debitur atau nasabah.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 18.0pt; mso-list: l3 level1 lfo7; tab-stops: list 18.0pt; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;"><span lang="IN">3.<span style="font: 7pt "Times New Roman";"> </span></span><span lang="IN">Kontrak baku syariah dalam praktek ternyata mengandung klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak. Klausula eksemsi terwujud dengan adanya klausula-klausula dalam kontrak yang mengandung pembatasan tindakan kepada salah satu pihak dalam melakukan kegiatan bisnis, pengalihan tanggung jawab atas risiko kontrak terhadap salah satu pihak, dan perluasan tanggung jawab dalam hal terjadi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">force majeur</i>.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="IN">DAFTAR PUSTAKA</span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Anwar, Syamsul<i>, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, </i>Jakarta: Raja Grafindo, 2007</span><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dewi, Gemala, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia</i>, Jakarta: Kencana, 2006.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">_____, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Hukum Perikatan Islam di Indonesia</i>, Jakarta: Kencana, 2005.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Fuady, Munir, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis</i>), Bandung: Citra Aditya, 2007.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Muhammad, Abdul Kadir, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan</i>, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Rahman, Hasanuddin, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Contract Drafting</i>, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sjahdeini, Sutan Remy, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kebebasan Berkontrak dan Perlidungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia</i>, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="line-height: 150%; margin-left: 36.0pt; text-align: justify; text-indent: -36.0pt;"><span lang="EN-GB" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Soemadipradja, Rahmat S.S, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa</i>, Jakarta: NLRP, 2010.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="mso-element: footnote-list;"><hr align="left" size="1" width="33%" /><div id="ftn1" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref1" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Sutan Remy Sjahdeini, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kebebasan Berkontrak dan Perlidungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia</i>, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 65-66.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn2" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref2" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[2]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Abdul Kadir Muhammad, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan</i>, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 6.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn3" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref3" name="_ftn3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[3]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Hasanuddin Rahman, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Contract Drafting</i>, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 197.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn4" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref4" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[4]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>., hal. 196-197. </span></div></div><div id="ftn5" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref5" name="_ftn5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[5]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>., hal. 197-198.</span></div></div><div id="ftn6" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref6" name="_ftn6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[6]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Dalam Gemala Dewi, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia</i>, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 206-207.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn7" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref7" name="_ftn7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[7]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>., hal. 213-218. </span></div></div><div id="ftn8" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref8" name="_ftn8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[8]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Dalam Gemala Dewi, dkk, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Hukum Perikatan Islam di Indonesia</i>, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 31.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn9" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref9" name="_ftn9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[9]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>., hal. 34. </span></div></div><div id="ftn10" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref10" name="_ftn10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[10]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>., hal. 37. </span></div></div><div id="ftn11" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref11" name="_ftn11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[11]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Muni Fuady, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis</i>), (Bandung: Citra Aditya, 2007), hal. 98.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn12" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref12" name="_ftn12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[12]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Hasanuddin Rahman, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Contract Drafting</i>, hal. 198-199.</span></div></div><div id="ftn13" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref13" name="_ftn13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[13]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Sutan Remy Sjahdeini, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kebebasan Berkontrak</i>, hal. 71.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn14" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref14" name="_ftn14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[14]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Munir Fuady, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Hukum Kontrak</i>, hal. 98-99.</span></div></div><div id="ftn15" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref15" name="_ftn15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[15]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Syamsul Anwar<i>, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, </i>(Jakarta: Raja Grafindo, 2007), hal. 213-214.</span></div></div><div id="ftn16" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref16" name="_ftn16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[16]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>., hal. 298.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn17" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref17" name="_ftn17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[17]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> Rahmat S.S Soemadipradja, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa</i>, (Jakarta: NLRP, 2010), hal. 72.</span></div><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36.0pt;"><br />
</div></div><div id="ftn18" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref18" name="_ftn18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[18]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>., hal 114.</span></div></div><div id="ftn19" style="mso-element: footnote;"><div class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 36.0pt;"><a href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5211279891045017323#_ftnref19" name="_ftn19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB" style="font-size: 10pt;">[19]</span></span></span></span></a><span lang="EN-GB"> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ibid</i>., hal. 122-123.</span></div></div></div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-82293974257080566592012-03-25T10:13:00.007+07:002012-03-26T11:33:23.800+07:00Mempertanyakan Panja Putusan MA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Oleh: Alamsyah<br />
<br />
Pembentukan Panitia Kerja (Panja) oleh Komisi III DPR atas putusan Mahkamah Agung (MA) menuai kontroversi. Keberadaan Panja mengaudit putusan MA dapat menggangu independensi peradilan. Akibatnya, meruntuhkan sistem ketatanegaraan yang telah ditetapkan konstitusi.</div><div></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
DPR menilai banyak putusan MA mengandung berbagai masalah dan mengusik keadilan masyarakat. Ada putusan MA telah berkekuatan hukum tetap (<i><span lang="SV" style="color: black; font-family: Cambria;">inkracht</span></i>) tidak bisa dieksekusi dengan berbagai persoalan yang muncul. Belum lagi, ditengarai terdapat putusan MA saling bertentangan satu sama lain dalam obyek yang sama sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kasus-kasus kecil yang menyedot perhatian publik seperti Prita Mulya Sari dan Nenek Rasminah diputus bersalah oleh MA padahal dukungan masyarakat menyuarakan keadilan mengalir deras kepada mereka. Di samping itu, tumpukan perkara MA memerlukan manajemen penyelesaian perkara serta peningkatan kualitas putusan. Inilah sebagian alasan DPR menjawab pertanyaan mengapa Panja dibentuk.<br />
<a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
Kini publik bertanya, benarkah munculnya Panja Putusan MA dilandasi keikhlasan memperjuangkan kehendak rakyat dan semangat memperbaiki MA, ataukah sekedar mengusung kepentingan politik tertentu dengan menjual nama rakyat. Banyak anggota DPR terjerat kasus korupsi berjamaah diputus bersalah oleh MA. Bisa saja, dibentuknya Panja dimanfaatkan sebagai alat tawar kepentingan politik tertentu.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Dalih menjalankan fungsi pengawasan dengan mengaudit putusan MA merupakan suatu kekeliruan besar DPR. Fungsi pengawasan tidak bisa mengarah pada tindakan teknis yudisial. Menyatakan putusan MA tidak sesuai aturan hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat merupakan tindakan yang mempengaruhi kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Sangat berbahaya, apabila dalam sebuah negara demokrasi, lembaga yudikatif mendapat intervensi dari lembaga eksekutif maupun legislative.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Komisi III DPR dapat melakukan pengawasan terhadap MA sepanjang menyangkut bidang non yudisial semisal masalah reformasi birokrasi dan penggunaan anggaran. Hal ini dapat dilakukan mengingat lembaga peradilan Indonesia belum sepenuhnya independen karena anggaran yang dimiliki masih bergantung pada kebijakan pemerintah maupun DPR.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Mengenai fungsi legislasi DPR merevisi Undang-undangMA tidak tepat dilakukan melalui pembentukan Panja Putusan MA. Upaya pencarian bahan hukum dalam proses legislasi dapat dilakukan dengan mempelajari berbagai yurisprudensi MA. Secara praktis, yurisprudensi dapat ditemukan dalam direktori putusan website MA ataupun media lain yang tersedia jika memang benar maksud dari DPR sekedar menemukan hukum baru dalam sebuah putusan. Terdapatnya putusan MA berbeda dengan hukum positif harus dimaknai sebagai penciptaan hukum baru karena hakim bukan corong-corong undang. Hakim dapat menyimpangi hukum positif jika dinilai hukum tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan bertolak belakang dengan asas keadilan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Tentu masih melekat dalam benak kita, pemikiran hukum Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif. Hukum dimaknai sebagai gagasan yang mengalir, yang tidak mau terjebak ke dalam <i style="mso-bidi-font-style: normal;">status quo</i>, sehingga menjadi mandek (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">stagnant</i>). Hukum progresif selalu setia pada asas besar, “hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Keberadaan hukum terus mengalir karena kehidupan manusia memang penuh dinamika dan berubah dari waktu ke waktu (Satjipto Rahardjo: 2009). Oleh karena itu, menjadi wajar apabila ada hakim dalam memutus suatu perkara bersikap <i style="mso-bidi-font-style: normal;">contra legem</i> terhadap hukum positif. Selain itu, harus dipahami bahwa putusan hakim diambil berdasarkan sumpah, semata demi keadilan berdasarkan ketuhanan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Mengaudit putusan dengan mencari segala kesalahan mengapa seorang hakim agung memutus bersalah atau tidak bersalah seseorang, terlebih memberi rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap hakim agung tertentu yang dinilai membuat kesalahan dalam memutus perkara jelas merupakan bentuk intervensi terhadap kemerdekaan peradilan. Menurut Artidjo Alkostar, hakim memiliki hak imunitas di mana ia tidak bisa dituntut atau dipersalahkan terhadap putusan yang dibuat. Putusan seorang hakim hanya dapat dinilai dan dibatalkan oleh tingkat peradilan yang lebih tinggi, bukan oleh kekuatan ekstra yudisial.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sebenarnya, DPR haruslah mendukung dan menjaga independensi peradilan. Niatan baik DPR untuk memperbaiki kinerja MA serta menyuarakan kehendak rakyat haruslah dilakukan sesuai aturan yang berlaku dan tetap menjaga konsep bernegara yang telah ditetapkan konstitusi. Jangan sampai arogansi DPR atas nama rakyat terus menerus dipertontonkan kepada publik hingga menghantam eksistensi lembaga lain. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Ada beberapa langkah yang seharusnya dilakukan DPR. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Pertama</i>, menjalankan fungsi legislasi secara optimal. Fungsi utama DPR adalah membuat undang-undang di samping fungsi anggaran dan pengawasan. Banyak undang-undang harus segera dibuat karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu semua orang mengetahui, berapa tahun keberlakuan KUHP, KUH Perdata, KUHD, HIR, RBG, dan peraturan lain warisan kolonial dalam penegakkan hukum di Indonesia. Mengapa niat baik DPR memperbaiki sistem penegakan hukum tidak diawali dengan berkonsentrasi pada penggantian undang-undang warisan kolonial dengan produk legislasi nasional yang sesuai dengan jati diri bangsa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<i>Kedua</i>, mengupayakan independensi lembaga peradilan secara utuh. Menurut Jimly Asshiddiqie, independensi kekuasaan kehakiman mencakup tiga hal yaitu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">structural independence</i>, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">functional independence</i> dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">financial independence</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Structural independence</i> berarti independensi kelembagaan, di sini dapat dilihat dari bagan organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti eksekutif dan legislative. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Functional independence</i> berarti independensi dilihat dari jaminan pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra yudisial. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Financial independence</i> berarti independensi dilihat dari segi kemandirian dalam menentukan anggaran dalam rangka menjamin kemandirian lembaga tersebut dalam menjalankan fungsinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size: 12pt;">Independensi kekuasaan kehakiman yang diberikan konstitusi maupun UU Nomor 48 Tahun 2009 baru sebatas independensi struktural dan fungsional karena anggaran lembaga peradilan masih bergantung pada “kebaikan hati” eksekutif dan legislative. Harusnya DPR mengupayakan bagaimana lembaga peradilan memiliki kemandirian anggaran. Sangat miris jika melihat jumlah anggaran MA dan empat lingkungan peradilan di bawahnya. Tercatat angaran yang dimiliki tahun 2011 hanya 6 triliun atau sekitar 0,5 persen dari total APBN. Padahal, lembaga yudikatif merupakan salah satu pilar dari dua pilar lainnya (eksekutif dan legislative) yang memiliki kedudukan penting dan sederajat dalam sebuah negara demokrasi.</span></div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-83908387684289148582012-03-25T09:58:00.005+07:002012-03-26T11:33:34.370+07:00Menyoal Rencana Revisi UU KPK<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Oleh: Alamsyah<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Rencana merevisi UU KPK harus mengarah pada penguatan kewenangan KPK dalam memberantas habis korupsi. Bukan malah memperlemah bahkan mengkerdilkan KPK.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Keberadaan KPK dalam ranah penegakan hukum masih menjadi kebutuhan mendesak Mengingat praktek korupsi begitu menggurita di tengah kehidupan berbangsa. Korupsi marak terjadi mulai tingkat pusat hingga daerah. Mulai kasus mega korupsi hingga korupsi recehan. Korupsi berjamaah hingga korupsi personal.<br />
<a name='more'></a><br />
</div><div style="text-align: justify;">Belum lagi, perilaku mengarah korupsi masih terasa kental dalam kehidupan masyarakat. Ucapan terima kasih lewat pemberian sesuatu ketika orang mengurus suatu kepentingan dan pejabat memperoleh upeti seolah dianggap sebuah tradisi yang dimaklumi. Padahal, perilaku-perilaku tersebut menjadi cikal bakal budaya korupsi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berita korupsi setiap hari menjadi headline media cetak maupun elektronik. Rakyat terus menerus disuguhi berita soal korupsi. Entah korupsi oleh pejabat pemerintah, anggota dewan terhormat, maupun aparat penegak hukum. Segala lini masih dihinggapi penyakit kronis yaitu korupsi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Motif orang korupsi pun beragam. Mulai alasan sekedar memenuhi kebutuhan hidup, menumpuk kekayaan dan hidup galamour, tuntutan kelompok atau partai, bahkan ketidakmampuan menghadapi sistem sehingga harus ikut jamaah korupsi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ini semua menjadi bukti, praktek korupsi masih mengakar dan sedemikian akut. Butuh lembaga penegak hukum yang mampu bertindak tegas, cepat, dan berani sekalipun berhadapan dengan para penguasa. Keberadaan KPK pun menjadi solusi sebab masih mendapat simpatik dari rakyat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Upaya merevisi UU KPK harus dimaknai positif asalkan semakin memperkuat posisi KPK. Harus diyakini, tidak ada aturan yang dibuat dalam undang-undang bersifat sempurna dan tidak butuh revisi. Perkembangan pola pikir manusia dan kecanggihan dunia teknologi menuntut suatu perubahan aturan. Selain itu, modus perilaku korupsi semakin canggih dan beragam, bahkan disertai suatu sistem korupsi yang rapi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika revisi UU KPK ternyata mengarah pada pelemahan KPK maka harus ditolak. Sebab kehadiran KPK masih sangat dibutuhkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Rakyat sudah jengah dengan berbagai kasus korupsi yang mewarnai segala lini kehidupan. Rakyat sangat mendambakan negeri ini bersih dari korupsi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menghilangkan kewenangan KPK untuk melakukan penindakan dan mencukupkan dengan bidang pencegahan adalah wujud pelemahan KPK. Letak kekuatan KPK ada pada penindakan. Jika kewenangan ini diamputasi maka jelaslah KPK menjadi tak berdaya dan menyimpangi pesan sejarah pembentukannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mengembalikan kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dimiliki KPK kepada Korps Kejaksaan dan Kepolisian belum saatnya dilakukan. Sebab publik masih menilai dua lembaga penegak hukum tersebut masih lemah dalam memberantas korupsi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Memang tidak selamanya pemberantasan korupsi di negeri ini terus bergantung kepada keberadaan KPK. Sebab KPK adalah lembaga ad hoc sebagai solusi di tengah belum kuatnya lembaga penegak hukum lainnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika DPR bersikukuh hendak merevisi UU KPK sampai harus melakukan kunjungan ke Perancis maka prespektifnya harus demi penguatan KPK. Kewenangan KPK harus diperkuat dan dibentengi dari campur tangan kepentingan penguasa maupun kelompok tertentu. Ini dilakukan agar KPK dapat secara merdeka melaksanakan tugas mulia memberantas korupsi.</div><br />
<b>Fokus KPK</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Penulis lebih sepakat jika kerja KPK difokuskan kepada kasus mega korupsi dan kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kasus mega korupsi tentu sangat rumit, butuh kejelian dan konsentrasi penuh. Belum lagi, tekanan kepentingan penguasa, parpol, dan kepentingan kelompok tertentu. Begitu juga, kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum sangat tepat ditangani KPK biar berjalan tanpa ada rasa ewuh pakewuh dan prespektif negatif dari publik.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rencana menaikkan nilai minimal perkara korupsi yang bisa ditangani KPK dari nominal 1 miliar menjadi 5 miliar merupakan suatu kewajaran. Jangan sampai KPK terlena menangani kasus korupsi kecil dan melupakan penyelesaian kasus mega korupsi. Perkara korupsi yang notabene bisa diselesaikan kepolisian dan kejaksaan, jangan menjadi deretan antrian kasus yang ditangani KPK.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kasus besar semisal skandal Bank Century yang menyedot perhatian publik harusnya menjadi prioritas untuk segera diselesaikan. Rakyat sudah lama menunggu kelanjutan kasus tersebut, tidak hanya sekedar menjadi perdebatan panggung politik DPR. Namun, harus mampu diselesaikan lewat jalur hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Janji Ketua KPK, Abraham Samad, dalam satu tahun mampu menyelesaikan kasus Century harus dibuktikan. Jika tidak, kepercayaan publik kepada KPK akan luntur bahkan lenyap.</div><br />
<b>Sinergi Penegak Hukum</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Memberantas korupsi adalah tidak mudah. Namun, bukan hal mustahil dilakukan. Aparat penegak hukum harus kompak memberantas korupsi. Sinergi antar lembaga penegak hukum wajib diwujudkan. Usaha saling melemahkan dan mencari sensasi publik harus dibuang jauh.</div><div style="text-align: justify;">Revisi terhadap UU KPK harus mampu menciptakan hubungan sinergis antara KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya. Jangan sampai penguatan atau penambahan kewenangan KPK menimbulkan tabrakan kewenangan antar lembaga penegak hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Upaya DPR merevisi UU KPK dengan tujuan memperkuat posisi KPK dalam pemberantasan korupsi harusnya diikuti dengan revisi penguatan lembaga kejaksaan dan kepolisian. Pendek kata, revisi terhadap UU Kejaksaan dan Kepolisian juga layak dilakukan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Problem kejaksaan dan kepolisian dalam menangani kasus korupsi dari sisi aturan hukum harus dipikirkan oleh DPR. Aturan yang dinilai mengganjal dua lembaga tersebut harus dihilangkan. Biar stigma “tidak mampu” atau “lamban” dalam menangani kasus korupsi menjadi hilang. Sehingga dua lembaga tersebut ke depan dapat dipercaya oleh publik. Tidak terus bergantung pada lembaga KPK.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akhirnya, penulis berharap rencana DPR merevisi UU KPK hendaknya dimaksudkan demi penguatan posisi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi. Bukan malah memperlemah dengan mengamputasi kewenangan yang telah dimiliki. Rakyat harus terus mengawal niatan DPR merevisi UU KPK. Jika mengarah demi kebaikan KPK maka harus didukung penuh, sebaliknya jika bertujuan memperlemah maka harus dilawan dengan cara yang benar sehingga kita bisa menggapai sebuah cita, tinggal di negeri yang terbebas dari korupsi.</div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-80197394018870964452011-01-24T14:19:00.010+07:002012-03-26T11:23:25.816+07:00Diskursus Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dan Permasalahan Hukumnya<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Oleh : Alamsyah<br />
<b><br />
</b><br />
<b>Pendahuluan</b><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Pembangunan ekonomi bangsa tentu membutuhkan eksistensi lembaga keuangan. Praktek transaksi ekonomi masyarakat selama ini banyak bersentuhan dengan keberadaan lembaga keuangan, baik bank maupun non-bank. Masyarakat memanfaatkan lembaga keuangan sebagai wadah investasi atau memperoleh pinjaman dalam rangka mengembangkan kegiatan usaha yang dimiliki. Semakin maksimal masyarakat memanfaatkan keberadaan lembaga keuangan dalam kegiatan ekonomi dengan didukung oleh sistem yang dikembangkan oleh pemerintah maka pembangunan ekonomi akan semakin cepat tumbuh berkembang dan akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Namun, muncul persoalan yang terus berkembang dan sering diperdebatkan terkait transaksi ekonomi yang berhubungan dengan lembaga keuangan yaitu mengenai status hukum bunga bank dalam Islam, apakah termasuk riba atau tidak. Sebagian masyarakat muslim yang fanatik tidak mau berhubungan dengan dunia perbankan konvensional yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam sekalipun disadari bahwa bank sangat berperan dalam membangun perekonomian bangsa. Hal ini tentu berakibat dana yang dimiliki oleh sebagian masayarakat muslim tersebut tidak dapat dihimpun dalam suatu lembaga keuangan yang kemudian dapat disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.<br />
<a name='more'></a></div><div style="text-align: justify;"><br />
Realita demikian berakibat perlunya lembaga keuangan syariah sebagai solusi atas kehendak masyarakat agar kegiatan ekonomi yang dilakukan sesuai dengan prinsip yang dibenarkan oleh Islam. Sehingga kemudian muncul lah Bank Muamalat Indonesia sebagai pionir bank syariah yang kemudian disusul dengan semakin berkembangnya lembaga keuangan mikro syariah semisal Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), terlebih sejak adanya krisis moneter yang menerpa bangsa Indonesia yang membuka kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan syariah yang dinilai tetap eksis dan kokoh.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Eksistensi lembaga keuangan mikro syariah dalam bentuk BMT dapat menjadi primadona bagi kelompok ekonomi lemah dalam membantu pemenuhan kebutuhan modal usaha. Selain sebagai lembaga keuangan yang profit oriented, juga berorientasi pada penanganan kemiskinan, merubah mental dan gaya hidup komsumtif masyarakat ekonomi lemah menjadi gaya hidup yang berorientasi pada upaya-upaya produktif. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Perkembangan BMT yang pesat tentu akan semakin meningkatkan perekonomian masyarakat, terutama kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh kelompok ekonomi lemah. Namun, hal yang harus mendapat perhatian besar adalah potensi munculnya persoalan hukum yang berakibat pada sengketa dalam BMT. Untuk itu, dalam tulisan ini akan dibahas seputar keberadaan BMT, permasalahan hukum dalam BMT, serta penyelesaian sengketa yang muncul dalam BMT.</div><br />
<b>Seputar BMT</b><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Pengertian BMT secara definitif adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan konsep baitul maal wat tamwil. Kegiatan BMT adalah mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha makro dan kecil, antara lain mendorong kegiatan menabung dan pembiayaan kegiatan ekonominya. Sedangkan kegiatan baitul maal menerima titipan BAZIS dari dana zakat, infaq dan shadaqah dan menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Menurut definisi Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK), BMT adalah lembaga usaha ekonomi rakyat kecil yang beranggotakan orang atau badan hukum berdasarkan prinsip syariah dan prinsip koperasi. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Keberadaan baitul maal dalam BMT dimaksudkan sebagai suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah menerima dan menyalurkan dana umat Islam yang bersifat non-komersial. Sedangkan baitul tamwil adalah suatu lembaga keuangan Islam yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dari pihak ketiga (deposan) dan memberikan pembiayaan-pembiayaan kepada usaha-usaha yang produktif dan menguntungkan. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Dengan demikian, BMT pada dasarnya adalah memerankan dua fungsi utama, yaitu sebagai baitul maal dan baitul tamwil. Orientasi baitul maal adalah tidak mencari keuntungan (nirlaba), dengan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana sosial. Sedangkan orientasi baitul tamwil mencari keuntungan (profit oriented) dengan melakukan kegiatan bisnis berdasarkan prinsip-prinsip syariah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Adapun proses pendirian BMT dilakukan secara bertahap dimulai dari Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), dan telah memenuhi syarat anggota dan pengurus dapat ditingkatkan menjadi badan hukum koperasi. Sehingga dasar hukum BMT merujuk pada ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Walaupun istilah BMT tidak disebut dalam undang-undang tersebut, tetapi karena adanya persamaan dasar, yaitu sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, maka BMT dimasukkan dalam kategori koperasi. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) mengeluarkan keputusan Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004, Pasal 24 menyebutkan: “Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Keuangan Syariah selain menjalankan kegiatan pembiayaan atau tamwil, dapat menjalankan kegiatan maal dan atau kegiatan pengumpulan dan penyaluran dana zakat, infaq dan shadaqah, termasuk wakaf”. Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa BMT termasuk kategori Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). </div><div style="text-align: justify;"><br />
Berdasarkan aturan hukum maka BMT merupakan lembaga keuangan syariah non-bank. Pengaturannya tidak berpedoman kepada peraturan perundang-undangan perbankan, khususnya perbankan syariah. Namun menurut penulis, keberadaan BMT yang menjalankan fungsi tamwil berupa kegiatan penghimpunan dana dan pembiayaan berdasarkan prinsip-prinsip syariah sepatutnya diatur dalam peraturan hukum di bidang perbankan, khususnya perbankan syariah. Aturan mengenai permodalan, likuiditas, kesehatan lembaga, penerapan good corporate governance, dan hal lain di bidang perbankan harus lah diikuti oleh BMT, agar landasan operasional BMT dan kepercayaan masyarakat terhadap BMT, yang termasuk lembaga keuangan mikro syariah semakin kuat dan mampu berperan besar dalam pembangunan perekonomian bangsa. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Kemudian dalam hal keadaan BMT telah eksis; baik secara keuangan dan kelembagaan dengan jumlah aset yang selalu meningkat, BMT yang berbentuk koperasi dapat berubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dari lembaga keuangan non-bank syariah menjadi lembaga keuangan bank syariah. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Perbankan Syariah disebutkan bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul maal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Maka sekalipun BMT telah menjadi BPRS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang tentu orientasinya adalah bisnis, masih diberi kesempatan untuk tetap menjalankan fungsi baitul maal. Persoalannya adalah apakah para pemegang saham BPRS masih menginginkan perusahaanya tetap juga berorientasi pada usaha non-kemersial dan menjalankan fungsi sosial ataukah hanya menjalankan usaha bisnis syariah semata, sebab berdasarkan ketentuan pasal tersebut ditemui kata “dapat” yang berarti boleh dilakukan atau tidak dilakukan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
BMT dalam dataran praktis tentu mempunyai visi dan misi yang jelas. Fokus perumusan visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang profesional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah. Ibadah harus dipahami arti luas, tidak saja mencakup aspek ritual peribadatan tetapi juga mencakup segala aspek kehidupan. Sehingga setiap kegiatan BMT harus berorientasi pada upaya mewujudkan ekonomi yang adil dan makmur. Sedangkan misi BMT pada dasarnya adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil dan makmur dengan berlandaskan syariah dan keridhaan Allah. </div><div style="text-align: justify;"><br />
BMT dapat dijadikan sebagai suatu alternatif dalam membangun ekonomi umat; membantu usaha lemah/kecil muslim, terutama pengusaha sektor informal demi mendapatkan modal usaha yang murah dan bersih; membebaskan umat/pengusaha kecil dari cengkraman bunga dan rente serta membantu meningkatkan taraf hidup mereka; membantu meningkatkan pemahaman keislaman para debitur, kreditur serta investor melalui pertemuan dan pengajian yang diharapkan mereka akan lebih mengerti cara memanfaatkan kekayaannya; mendekatkan interaksi kekayaan muslim profesional dan konglomerat dengan kaum ekonomi lemah; serta membuka kawasan da’wah dan kehidupan sosial yang lebih luas di antara umat Islam. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Pelaksanaan kegiatan operasional BMT tentunya harus lah seimbang antara perannya sebagai baitul maal dan baitul tamwil. Perbedaan antara BMT dan entitas bisnis lainnya adalah kesamaan kedudukan antara bidang sosial dan bidang bisnis. Kedua bidang kegiatan tersebut adalah merupakan sesuatu yang urgen dalam BMT. BMT hendaknya tidak hanya berorientasi pada upaya memajukan usaha bisnis atau tamwil saja tetapi haruslah juga berusaha melakukan pengelolaan yang baik terhadap fungsi sebagai baitul maal.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Dalam kerangka manajemen BMT, secara fungsional lembaga baitul maal berperan dalam beberapa hal sebagai berikut: Pertama, membantu baitul tamwil dalam menyediakan kas untuk alokasi pembiayaan non-komersial qardul hasan. Kedua, menyediakan cadangan penyisihan penghapusan pembiayaan macet akibat kebangkrutan usaha nasabah baitul tamwil yang berstatus gharim. Ketiga, melakukan usaha-usaha peningkatan kesejahteraan sosial seperti pemberian bea siswa, santunan kesehatan, sumbangan pembangunan sarana umum dan peribadatan, serta dapat membantu baitul tamwil dalam menyukseskan kegiatan promosi produk-produk penghimpunan dana dan penyalurannya kepada masyarakat. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Pelaksanaan kegiatan penyaluran dana sosial yang terhimpun dalam baitul maal hendaknya tidak hanya disalurkan untuk kebutuhan komsumtif para pihak yang berhak menerima dana tersebut (mustahik) melainkan juga berorientasi pada pola pemikiran yang berkembang dalam khazanah keislaman tentang distribusi dana zakat secara produktif dan investasi dana zakat. Perlu disadari bahwa di antara sumber dana baitul maal adalah berasal dari zakat yang tentunya dalam penyalurannya tidak terlepas dari konsep 8 asnaf mustahik zakat. Dan jika dipahami secara sederhana maka dana yang terkumpul dalam baitul maal pada BMT merupakan hak para mustahik yang termasuk di dalamnya fakir miskin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Pola distribusi produktif yang dikembangkan pada umumnya mengambil skema qardul hasan yakni satu bentuk pinjaman yang menetapkan tidak adanya tingkat pengembalian tertentu dari pokok pinjaman. Namun demikian apabila ternyata si peminjam dana tersebut tidak mampu mengembalikan pokok tersebut, maka hukum zakat mengindikasikan bahwa si peminjam tersebut tidak dapat dituntut atas ketidakmampuannya karena pada dasarnya dana tersebut adalah hak mereka. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Skema yang dikedepankan dari pola qardul hasan sebenarnya sangat briliant, mengingat: pertama, ukuran keberhasilan sebuah lembaga pengumpul zakat adalah lembaga tersebut dapat menjadi salah satu elemen dari sekuritas sosial yang mencoba mengangkat derajat kesejahteraan seorang mustahik menjadi muzaki. Jika hanya pola konsumtif yang dikedepankan, tampaknya akan sulit tujuan ini bisa tercapai. Kedua, Modal yang dikembalikan oleh mustahik kepada lembaga zakat, tidak berarti bahwa modal tersebut sudah tidak lagi menjadi haknya si mustahik yang diberikan pinjaman tersebut. Ini bisa saja dana tersebut diproduktifkan kembali dengan memberi balik kepada mustahik tersebut yang akan dimanfaatkan untuk penambahan modal usahanya lebih lanjut. Dan kalaupun tidak, hasil akumulasi dana zakat dari hasil pengembalian modal akan kembali didistribusikan kepada mustahik lain yang juga berhak. Dengan begitu harapan lembaga amil dapat benar-benar menjadi partner bagi mustahik untuk pengembangan usahanya sampai terlepas dari batas kemustahikkannya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Kemudian dalam pembahasan tentang menginvestasikan dana zakat, persoalan yang muncul adalah siapa yang akan menginvestasikannya? Salah satu konsep fundamnetal dari sistem zakat menyatakan bahwa tarif zakat yang dibayarkan oleh seorang muzaki adalah hak milik para mustahiknya. Dalam kajian fiqh klasik, pembahasan yang sudah akrab berkisar pada kemungkinan mustahiknya sendiri yang menginvestasikan dana tersebut atau si muzakinya yang menginvestasikannya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Selain berperan sebagai baitul maal, BMT juga berperan sebagai baitul tamwil yaitu melaksanakan kegiatan bisnis berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Ada dua jenis kegiatan utama dalam BMT yaitu penghimpunan dana (funding) dan pembiayaan (financing). Dua fungsi tersebut mempunyai keterkaitan yang erat. Keterkaitan ini terutama berhubungan dengan rencana penghimpunan supaya tidak menimbulkan terjadinya dana menganggur (idle money) di satu sisi dan rencana pembiayaan untuk menghindari terjadi kurangnya dana/likuiditas saat dibutuhkan di sisi lain. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Dalam kegiatan funding, membangun kepercayaan masyarakat terhadap BMT adalah sangat penting. BMT harus mampu menjaga kepercayaan masyarakat dengan mengelola dana yang tersimpan secara baik dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah. Semakin tinggi masyarakat menaruh kepercayaan kepada BMT maka akan semakin mudah BMT melakukan penghimpunan dana yang pada akhirnya akan disalurkan kepada yang membutuhkan dalam pengembangan usaha melalui mekanisme pembiayaan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Pada umumnya, funding yang dilakukan BMT menggunakan akad wadi’ah dan mudharabah. Ada dua jenis wadi’ah, yaitu wadi’ah amanah dan wadiah dhamanah. Jika akad yang digunakan akad wadi’ah amanah maka keuntungan yang diperoleh BMT melalui penarikan biaya administrasi untuk pengurusan barang atau uang titipan dari nasabah. Apabila akad yang digunakan wadiah dhomanah maka BMT memperoleh keuntungan dari mendayagunakan dana titipan untuk tujuan komersial. Apabila dalam pendayagunaan dana tersebut memperoleh keuntungan maka BMT biasanya memberikan bonus yang besarnya tidak boleh ditetapkan secara pasti di muka dengan kalkulasi nominal rupiah maupun prosentase atas nilai pokok wadiah sebab jika hal itu dilakukan maka akan sama dengan konsep bunga dalam perbankan konvensional. Namun, apabila memperoleh kerugian, maka BMT menanggung resiko kerugian tersebut. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Adapun kegiatan BMT dalam hal pembiayaan (financing) adalah menyalurkan dana kepada umat melalui pinjaman untuk keperluan menjalankan usaha yang ditekuni oleh nasabah/anggota sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku serta kesepakatan bersama. Produk pembiayaan BMT diantaranya: mudharabah, musyarakah, bai’ bitsaman ajil, murabahah, qardul hasan, ijarah, dan at-Ta’jir. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Dari sekian ragam produk pembiayaan yang digemari oleh BMT adalah murabahah karena karakternya yang profitable, mudah dalam penerapan, serta ¬risk-factor yang ringan untuk diperhitungkan. Namun demikian, seharusnya BMT harus lah megoptimalkan penyaluran dana melalui mudharabah maupun musyarakah karena produk tersebut adalah sangat bermanfaat dalam membangun atau meningkatkan usaha masyarakat ekonomi lemah. Jika BMT hanya menfokuskan pada produk pembiayaan murabahah untuk mengejar keuntungan semata maka peran BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah patut dipertanyakan kembali. </div><br />
<b>Permasalahan Hukum</b><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Ada beberapa permasalahan hukum dalam ruang lingkup BMT, yang berpotensi menimbulkan sengketa dan membutuhkan penyelesaian secara litigasi atau non-litigasi, yang berkaitan dengan peran sebagai baitul maal dan baitul tamwil, yaitu :</div><br />
1. Penyalahgunaan dalam pengelolaan dana zakat dalam BMT<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Pengelolaan dana zakat secara baik dan modern merupakan suatu keharusan untuk dilakukan oleh BMT mengingat dana yang terkumpul dalam baitul maal merupakan amanah dari para pemberi zakat agar disalurkan kepada yang berhak menerima. Jika BMT tidak melakukan pengelolaan secara baik dan transparansi publik tidak diindahkan maka amanah yang diberikan dapat dikatakan tercederai.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Apabila pengurus BMT yang mengelola dana sosial yang di antaranya berasal dari dana zakat menyalahgunakan dana tersebut maka dimungkinkan muncul suatu gugatan secara perorangan atau bahkan class action dari para pihak yang telah memberikan amanah kepada BMT untuk menyalurkan dana zakat yang telah dikeluarkan oleh mereka. Sebagai ilustrasi, ada BMT yang sudah terkenal pada suatu masyarakat kota dan dana zakat yang terkumpul sangat besar. Kemudian ternyata diketahui pengurus BMT menyalahgunakan dana yang terkumpul dalam baitul maal maka pihak pemberi zakat merasa amanah yang diberikan BMT tidak dilaksanakan kemudian mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum dan tuntutan agar dana yang terhimpun dalam pembukuan baitul maal disalurkan kepada para pihak yang berhak.</div><br />
2. Pendayagunaan dana zakat yang tidak optimal dan tidak tepat sasaran.<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Pendayagunaan dana zakat secara optimal dan tepat sasaran merupakan suatu keharusan. Jika masyarakat menilai dana zakat yang disalurkan hanya untuk golongan tertentu sedangkan mereka merasa berhak menerima zakat baik untuk kebutuhan konsumtif atau untuk membuka usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari maka dimungkinkan juga muncul gugatan secara perseorangan ataupun class action dari para pihak yang berhak menerima dana zakat tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Berbicara tentang persoalan pendayagunaan dana zakat tentu mempunyai relevansi dengan fungsi intermediary atau amil zakat. Fungsi ini memberikan kewajiban bagi BMT untuk menyalurkan dana yang terkumpul dalam wadah baitul maal kepada yang berhak menerima. Jika merujuk pada konsep 8 asnaf yang berhak menerima zakat maka tentunya BMT akan banyak berhubungan dengan mereka dalam penyaluran dana zakat tersebut. Namun demikian, perlu dipahami secara seksama bahwa bukan berarti BMT cukup menyalurkan untuk kebutuhan konsumtif tetapi hendaknya perlu diterapkan konsep distribusi dana zakat secara produktif bahkan investasi dana zakat sehingga diharapkan masyarakat yang tadinya sebagai orang yang berhak menerima zakat menjadi orang yang harus mengeluarkan zakat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Sebagai ilustrasi, dalam suatu kecamatan terdapat beberapa BMT yang telah mempunyai dana yang besar yang terkumpul dalam manajemen baitul maal-nya namun dalam dataran praktis BMT tersebut tidak menyalurkan atau menyalurkan secara tidak optimal kepada para fakir miskin yang ada dalam wilayah tersebut yang mempunyai ketrampilan dan hendak melakukan usaha. Selanjutnya, mereka kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan agar BMT memberikan pembiayaan secara qardul hasan.</div><br />
3. Pembiayaan yang macet<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Pembiayaan yang macet merupakan momok yang akan sering dihadapi lembaga keuangan, termasuk BMT. Banyak alasan yang sering diajukan nasabah (penerima pembiayaan) untuk memperoleh keringanan bahkan pembebasan terhadap prestasi yang seharusnya dipenuhi akibat akad yang telah disepakati bersama, semisal dengan alasan force majeur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Apabila ada pihak dalam suatu akad tidak mampu memenuhi suatu prestasi sesuai kesepakatan yang tertuang dalam akad maka keadaan demikian dikatakan telah terjadi wanprestasi. Adapun bentuk wanprestasi mencakup: tidak memenuhi prestasi sama sekali; memenuhi prestasi tidak sesuai dengan isi akad; dan memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Setiap akad yang telah dibuat tentu punya potensi terjadi wanprestasi dalam jangka waktu pelaksanaan akad. Sekalipun maksud dibuatnya akad adalah agar keinginan para pihak dapat terpenuhi, bukan dimaksudkan untuk mencari sesuatu hal yang dapat dilanggar atau dengan maksud untuk menggugat di kemudian hari. Pada akad yang sering digunakan dalam pembiayaan di BMT seperti murabahah melalui keharusan membayar cicilan pokok pembiayaan dan keuntungan yang diminta BMT berdasar akad juga rentan dengan adanya wanprestasi. Sebagai ilustrasi, pihak penerima fasilitas pembiayaan dalam jangka waktu pelaksanaan akad ternyata terlambat atau tidak mampu membayar cicilan pokok pembiayaan maupun keuntungan yang menjadi hak BMT selama 3 bulan, maka yang demikian itu termasuk wanprestasi.</div><br />
4. Permasalahan antara BMT dengan lembaga keuangan lain<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Sumber dana yang disalurkan oleh BMT kepada masyarakat tidak hanya berasal dari simpanan melainkan juga berasal dari pinjaman dari lembaga keuangan lainnya dalam bentuk akad syariah. Jika BMT hanya mengandalkan pendanaan dari simpanan, terlebih untuk BMT yang relatif masih baru dan belum mempunyai dana yang besar maka akan sulit BMT tersebut untuk mengembangkan BMT dengan menyalurkan dana kepada masyarakat melalui mekanisme pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Dalam praktek, seringkali BMT mendapat dana pinjaman dari bank syariah atau Lembaga Amil Zakat yang melakukan distribusi dana zakat secara produktif atau bahkan diinvestasikan. BAZIS DKI Jakarta pernah bekerja sama dengan 27 BMT untuk mendistribusikan dana permodalan pada 71 pasar tradisional. BMT dijadikan mitra dalam penyaluran, sedangkan BMT menentukan para pedagang yang berhak dan mengajukan permohonan pinjaman dana ZIS. Apabila ternyata kemudian terjadi persoalan dalam penyaluran dana ZIS tersebut, maka sangat dimungkinkan adanya sengketa antara BMT dengan lembaga keuangan atau lembaga sosial.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Ilustrasi lain misalnya BMT mendapat pinjaman dari bank syariah melalui akad mudharabah yang kemudian disalurkan oleh BMT melalui makanisme pembiayaan dengan berbagai jenis akad kepada masyarakat. Pada waktu masa berlakunya akad masih berlangsung kemudian terjadi banyaknya pembiayaan yang dikeluarkan BMT kepada masyarakat mengalami macet. Padahal BMT sendiri mempunyai kewajiban atau prestasi untuk membayar cicilan pokok pinjaman setiap bulan atau pada jatuh tempo yang telah ditentukan dalam akad kemudian BMT ternyata tidak mampu memenuhi kewajibannya maka akan muncul suatu sengketa antar lembaga lembaga keuangan.</div><br />
5. Tanggung jawab pengurus dalam hal BMT mengalami kerugian<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Dalam setiap kegiatan bisnis syariah tentu ada resiko kerugian, termasuk dalam BMT. Apabila BMT dalam operasionalnya ternyata mengalami kerugian. Dapatkah pengurus dituntut untuk mengganti seluruh kerugian yang dialami oleh BMT. Persoalan mengalami kerugian sangat mungkin terjadi terutama dalam pembiayaan berisiko tinggi semisal mudharabah dan musyarakah. Jika ternyata analisis dalam memberikan pembiayaan salah dan tidak tepat, kemudian mengalami kerugian tentu hal ini akan berimbas pada BMT.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Dalam konsep perbankan konvensional jika bank akan memberikan kredit kepada nasabah maka harus diperhitungkan jaminan yang diberikan oleh nasabah. Jika nasabah dalam perjalanan waktu perjanjian ternyata tidak mampu membayar maka bank dapat menggunakan jaminan tersebut melalui mekanisme eksekusi untuk menutup utang dari debitur berdasarkan peraturan yang berlaku.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Hal ini tentu berbeda dengan konsep jaminan dalam akad syariah semisal dalam mudharabah. Jaminan dalam mudharabah adalah bukan sebagai penjamin atas utang piutang tetapi berkedudukan sebagai penjamin agar pelaku usaha usaha tidak melanggar akad yang telah d isepakati. Oleh karena itu jika pelaku usaha menderita kerugian yang murni bersifat ekonomis dan tidak melanggar akad, maka jaminan tidak dapat disita untuk mengembalikan semua pembiayaan. Dengan demikian, jaminan berfungsi sebagai penjamin tidak adanya pelanggaran oleh pelaku usaha. </div><br />
<b>Penyelesaian Sengketa</b><br />
<div style="text-align: justify;"><br />
Penyelesaian sengketa perbankan syariah telah secara jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 55 ayat (1) menyebutkan bahwa penyelesaiana sengketa dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Selanjutnya, dalam ayat (2) disebutkan bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Lain halnya dengan penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup BMT. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 memang tidak menyebut lembaga peradilan mana yang berwenang menyelesaikan sengketa perkoperasian. Pada prakteknya selama ini semua sengketa menyangkut perkoperasian, dari aspek hukum perikatannya atau sebagai salah satu bentuk badan usaha diselesaikan oleh Pengadilan Negeri. Namun demikian, sekalipun bentuk badan hukum BMT adalah koperasi namun jika dilihat dari segi kegiatan baitul tamwil-nya, yang melakukan kegiatan penghimpunan dana (funding) dan pembiayaan (financing) maka kegiatan usaha yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan perbankan syariah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Jika dicermati secara seksama baik dari segi baitul maal dan baitul tamwil, BMT mempunyai fungsi dalam perekonomian syariah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 3 Tahun 2006, yaitu:</div>a. Lembaga keuangan syariah (Penjelasan Pasal 49 huruf i sub b)<br />
b. Lembaga pembiayaan syariah (Penjelasan Pasal 49 huruf i sub b)<br />
c. Lembaga bisnis syariah (Penjelasan Pasal 49 huruf i sub k)<br />
d. Lembaga amil zakat, infaq dan shodaqoh serta wakaf (Pasal 49 huruf e,f,g dan h). <br />
<div style="text-align: justify;">Dengan dasar dan argumen di atas, maka menjadi jelas bahwa sengketa mengenai BMT menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Adapun langkah penyelesaian sengketa berkaitan dengan permasalahan hukum yang dikemukakan di atas adalah sebagai berikut: pertama, sengketa akibat penyalahgunaan pengelolaan dana zakat dan pendayagunaan dana zakat yang tidak optimal dan tidak tepat sasaran dalam peran BMT sebagai baitul maal adalah harus melihat apakah muzaki dan mustahik mempunyai kepentingan hukum sehingga mereka dapat mengajukan gugatan serta filosofi pengaturan zakat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Suatu tuntutan hak yang akan diajukan kepada pengadilan yang dituangkan dalam gugatan, pihak penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Orang yang tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk menjadi para pihak dalam mengajukan gugatan. Dengan demikian, syarat mutlak dapat mengajukan gugatan adalah mempunyai kepentingan hukum dan jika tidak dipenuhi maka gugatan akan tidak diterima. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Kedudukan muzaki dalam gugatan akibat adanya penyalahgunaan dalam pengelolaan dana zakat adalah sebagai pihak yang memberi amanah kepada BMT untuk menyalurkan zakat yang muzaki keluarkan. Apabila BMT ternyata melakukan penyalahgunaan dana zakat maka dapat dikatakan amanah yang telah diberikan tercederai. Muzaki mempunyai kepentingan hukum agar dana zakat yang dikeluarkan benar-benar diberikan kepada mustahik. Namun, yang harus dicermati adalah apakah orang yang mengajukan gugatan tersebut benar-benar orang yang mengeluarkan zakat yang diberikan pada BMT tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Pasal 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menjelaskan bahwa pengelolaan zakat bertujuan: meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama; meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial; dan meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Kemudian Pasal 16 menjelaskan bahwa pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahik sesuai dengan ketentuan agama dan pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahik dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal dijelaskan bahwa mustahik delapan asnaf ialah fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, shabilillah, dan ibnusabil yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Kedua, sengketa akibat wanprestasi karena pembiayaan yang macet harus diselesaikan dengan mencermati isi akad dan aturan hukum yang berkaitan dengan perjanjian atau akad syariah. Keberadaan akad sangat penting untuk mengetahui apakah salah satu pihak telah melakukan wanprestasi dan kewajiban apa yang harus ditanggung jika wanprestasi dilakukan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Apabila salah satu pihak yang terikat akad tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, tentu timbul kerugian pada pihak lain yang mengharapkan dapat mewujudkan kepentingannya melalui pelaksanaan akad tersebut. Oleh karena itu, hukum melindungi kepentingan dimaksud dengan membebankan tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas pihak yang ingkar janji (wanprestasi) bagi kepentingan pihak yang berhak. Akan tetapi, ganti rugi itu hanya dapat dibebankan kepada debitur yang ingkar janji apabila kerugian yang dialami oleh kreditur memiliki hubungan sebab akibat dengan perbuatan ingkar janji dari debitur. Jadi tanggung jawab akad itu memiliki tiga unsur pokok, yaitu adanya perbuatan ingkar janji yang dapat dipersalahkan, perbuatan ingkar janji itu menimbulkan kerugian kepada kreditur, dan kerugian kreditur disebabkan oleh (memiliki hubungan sebab akibat dengan) perbuatan ingkar janji debitur. </div><div style="text-align: justify;"><br />
Ketiga, penyelesaian sengketa antara BMT dan lembaga keuangan lain pada dasarnya tetap merujuk pada perikatan yang mendasari hubungan dari keduanya. Dalam persoalan ini, yang menjadi subyek hukum tentu bukan perorangan melainkan badan hukum. Yang berwenang bertindak di muka pengadilan bagi koperasi adalah pengurus sedangkan bagi perseroan terbatas adalah direksi kecuali anggaran dasar menentukan lain. Akad yang dibuat oleh BMT dan lembaga keuangan lain harus dicermati secara seksama. Kewajiban atau prestasi dari masing-masing pihak yang tercantum dalam akad sangat membantu menyelesaikan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Keempat, penyelesaian mengenai tanggung jawab pengurus jika BMT mengalami kerugian harus melihat tugas dan tanggung jawab pengurus sesuai anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-undang Perkoperasian bahwa pengurus bertanggung jawab mengenai segala kegiatan pengelolaan koperasi dan usahanya kepada Rapat Anggota atau Rapat Anggota Luar Biasa. Lebih lanjut Pasal 32 menjelaskan bahwa pengurus koperasi dapat mengangkat pengelola yang diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha, namun tidak mengurangi tanggung jawab pengurus. Kemudian dipertegas oleh ketentuan Pasal 34 bahwa pengurus, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, menanggung kerugian yang diderita koperasi, karena tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaiannya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
<b>Penutup</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, BMT merupakan lembaga keuangan mikro syariah yang memerankan dua fungsi utama, yaitu sebagai baitul maal dan baitul tamwil. Orientasi baitul maal adalah demi kepentingan umat dan nirlaba, melalui kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana sosial. Sedangkan baitul tamwil berorientasi mencari keuntungan (profit oriented), melalui kegiatan bisnis berdasarkan prinsip-prinsip syariah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Kedua, ada beberapa permasalahan hukum mengenai BMT yang berpotensi menimbulkan sengketa, yaitu: penyalahgunaan dalam pengelolaan dana zakat dalam BMT; pendayagunaan dana zakat yang tidak optimal dan tidak tepat sasaran; pembiayaan macet yang berakibat wanprestasi; permasalahan antara BMT dengan lembaga keuangan lain; dan tanggung jawab pengurus dalam hal BMT mengalami kerugian.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Ketiga, peradilan agama mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa mengenai BMT karena kegiatan yang dilakukan BMT sebenarnya termasuk dalam kegiatan yang disebut dalam ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. Walaupun bentuk badan hukum BMT adalah koperasi namun jika dilihat dari segi kegiatan baitul tamwil-nya, yang melakukan kegiatan penghimpunan dana (funding) dan pembiayaan (financing) maka kegiatan usaha yang dilakukan mempunyai kesamaan dengan perbankan syariah. Di samping itu, dari segi baitul maal juga mempunyai kegiatan mengimpun dana zakat, infaq, shodaqah, dan wakaf yang selanjutnya disalurkan kepada yang berhak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Keempat, penyelesaian sengketa terkait permasalahan hukum dalam BMT adalah sebagai berikut: sengketa akibat penyalahgunaan pengelolaan dana zakat dan pendayagunaan dana zakat yang tidak optimal dan tidak tepat sasaran dalam peran BMT sebagai baitul maal harus melihat apakah muzaki dan mustahik mempunyai kepentingan hukum sehingga mereka dapat mengajukan gugatan serta perlu dipahami filosofi pengaturan zakat; sengketa akibat wanprestasi karena pembiayaan yang macet harus diselesaikan dengan mencermati isi akad dan aturan hukum yang berkaitan dengan akad; penyelesaian sengketa antara BMT dan lembaga keuangan lain pada dasarnya tetap merujuk pada perikatan yang mendasari hubungan dari keduanya; dan penyelesaian mengenai tanggung jawab pengurus jika BMT mengalami kerugian harus melihat tugas dan tanggung jawab pengurus sesuai anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Dengan tulisan singkat ini, diharapkan memberikan kontribusi pada pemikiran Islam mengenai ekonomi syariah khususnya terkait BMT serta membawa manfaat bagi kepentingan umat untuk tetap membumikan prinsip-prinsip ekonomi Islam dalam kehidupan dan mampu membantu dalam meningkatkan pembangunan ekonomi nasional.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>DAFTAR PUTAKA</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.</div><div style="text-align: justify;">Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. </div><div style="text-align: justify;">Harahap, Burhanudin, Kedudukan, Fungsi dan Problematika Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah pada Perbankan Syariah,http:\\perpustakaan.uns.ac.id.</div><div style="text-align: justify;">Ilmi, Makhalul, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2002.</div><div style="text-align: justify;">Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005.</div><div style="text-align: justify;">Mufraini, M. Arif, Akuntasi dan Manajemen Zakat: Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006.</div><div style="text-align: justify;">Muhammad, Lembaga Keuangan Mikro Syariah: Pergulatan Melawan Kemiskinan dan Penetrasi Ekonomi Global, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.</div><div style="text-align: justify;">Nazir, Habib, dan Muhammad Hasanuddin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah, Bandung: Kafa Publishing, 2004. </div><div style="text-align: justify;">Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), Yogyakarta: UII Press, 2005.</div><div style="text-align: justify;">Rodoni, Ahmad, dan Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Zikrul Hakim, 2008. </div><div style="text-align: justify;">Zamzami, Mukhtar, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT), makalah disampaikan dalam Diklat Calon Hakim Angkatan ke-4 MA RI tahun 2009 di Mega Mendung, Bogor.</div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-82346145076985248012011-01-18T15:03:00.006+07:002012-03-26T11:34:02.466+07:00Korelasi Praktek Hukum dengan Teori Hukum<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on"><div style="text-align: justify;">Oleh : Alamsyah</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Pendahuluan</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Eksistensi hukum dalam kehidupan merupakan suatu hal yang urgen sebab dalam tatanan kehidupan muncul berbagai kepentingan manusia yang rentan menimbulkan suatu konflik. Sehingga diperlukan aturan hukum yang jelas untuk melindungi kepentingan manusia dalam praktek.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berbicara tentang praktek hukum tentu mempunyai korelasi yang erat dengan pembahasan mengenahi ilmu hukum. Dalam ranah ilmu hukum terdapat gradasi atau lapisan ilmu hukum yang meliputi filsafat hukum, teori hukum, dogmatik hukum, dan praktek hukum.</div><a name='more'></a><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Secara kronologis perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat dan disusul dogmatik hukum dalam arti ilmu hukum positif. Dua disiplin ilmu tersebut memiliki perbedaan yang sangat ekstrem. Filsafat hukum bersifat spekulatif, sedangkan hukum positif bersifat teknis. Berkaitan dengan keadaan tersebut, dibutuhkan disiplin tengah yang menjembatani filsafat hukum dan ilmu hukum positif. Disiplin tengah tersebut mula-mula terbentuk ajaran hukum umum (algemene rechtsleer) yang berisi ciri- ciri umum seperti asas-asas hukum dari berbagai sistem hukum. Beranjak dari ajaran hukum umum berkembang menjadi teori hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Teori hukum difungsikan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam memberikan penjelasan tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Hal tersebut berarti teori hukum mempunyai pengaruh yang besar dalam praktek hukum. Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah apakah praktek hukum terkait dengan teori hukum?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Pembahasan</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Berdasarkan definisi tersebut, teori hukum dapat berarti produk, yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoretik bidang hukum, serta teori hukum dapat berarti proses, yaitu kegiatan teoretik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoretik bidang hukum sendiri. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selanjutnya, ditambahkan oleh J.J.H. Bruggink bahwa teori hukum mengandung arti sempit dan luas. Teori hukum dalam arti sempit adalah lapisan ilmu yang berada di antara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum dan bersifat interdisipliner. Sedangkan hukum dalam arti luas meliputi dogmatik hukum, teori hukum dalam makna sempit dan filsafat ukum. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Teori hukum perlu dibedakan dengan disiplin lain dalam ranah lapisan ilmu hukum yaitu filsafat hukum dan dogmatik hukum (hukum positif). Teori hukum berbeda dengan hukum positif. Menurut Satjipto Rahardjo, teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif. Kemudian menurut Radbruch teori hukum mempunyai tugas membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terkait dengan praktek hukum, maka keberadaan dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya diarahkan kepada praktek hukum. Yang mana praktek hukum tersebut menyangkut dua aspek utama yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berbicara tentang praktek hukum dan teori hukum maka keduamnya mempunyai korelasi yang sangat erat. Penerapan hukum maupun pembentukan dalam ranah praktek hukum adalah terikat dengan keberadaan teori hukum. Hal ini didasarkan pada dua argumen mendasar berikut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pertama, konsep teori hukum merupakan konsep umum dan dogmatik hukum merupakan konsep teknis. Dogmatik hukum merupakan ilmu hukum praktis dan fungsi ilmu praktis adalah problem solving. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari sudut pandang teknikal dan teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut, diperoleh pemahaman bahwa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum diperlukan aturan hukum positif atau dogma hukum namun tidak boleh menyalahi konsep umum yang ada dalam teori hukum sebab pada dasarnya dogmatik hukum merupakan refleksi dari teori hukum sehingga praktek hukum dapat dikatakan terikat oleh teori hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Teori hukum merupakan jalan ilmiah metodikal untuk memperoleh sesuatu pemahaman teoretikal yang lebih baik secara global tentang gejala-gejala hukum. Sehingga sifatnya bukan sudut pendekatan yuridik teknikal, melainkan sesuatu pendekatan yang lebih teoretikal, yang di dalamnya bukan pemaparan dan sistimatisasi hukum yang mewujudkan titik tolak melainkan analisis dan penjelasan terhadap gejala hukum. Teori hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah positif terhadap gejala hukum serta teori hukum berdasar rasionalitas atas dasar kritaria umum yang dapat diterima oleh setiap orang. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Untuk memperkuat pernyataan bahwa praktek hukum terikat dengan teori hukum, maka penulis akan menguraikan melalui contoh dalam hukum perusahaan. Dalam hukum perseroan (perseroan terbatas) dikenal adanya pertanggung jawaban terbatas pemegang saham. Pasal 40 KUHD ayat (2) menyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab melebihi dari saham yang dimiliki. Ditegaskan pula dalam pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Penjelasan pasal menyebutkan bahwa ketentuan dalam ayat tersebut mempertegas ciri perseroan bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, seandainya suatu perseroan dinyatakan pailit oleh pengadilan dan hasil penjualan dari harta kekayaan perseroan ternyata tidak cukup melunasi hutang-hutang perseroan, para pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab untuk menutupi kekurangan pelunasan hutang-hutang perseroan tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketentuan tersebut merupakan refleksi dari teori badan hukum maupun teori hukum perseroan bahwa perseroan merupakan asosiasi modal yang kekayaannya terpisah dengan pemegang saham atau organ perseroan serta diterapkannya asas separate corporate personality bahwa antara perseroan sebagai legal entity dan para pemegang saham dari perseroan terdapat suatu tabir atau pemisah dalam teori hukum perusahaan tabir tersebut dinamakan corporate veil atau tabir perseroan. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut terori hukum perseroan, dalam keadaan tertentu tabir tersebut dapat disingkap oleh hukum. Artinya, apabila terjadi atau terdapat keadaan dimaksud, hakim dapat memutuskan agar pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi sampai kepada kreditor peseroan yang dirugikan oleh perbuatan hukum yang dilakukan perseroan. penyingkapan corporate veil itu disebut piercing the corporate veil. Artinya, dalam hal-hal tertentu keterbatasan tanggung jawab pemegang saham tidak berlaku. Apabila terjadi atau terdapat hal-hal tertentu yang dimaksudkan itu, pemegang saham tidak dilindungi oleh the doctrine of separate legal personality of a company atau the principle of the company’s separate legal personality tersebut. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Prinsip piercing the corporate veil telah dirumuskan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perseroan Terbatas secara terbatas, yang mencakup empat hal, yaitu persyaratan perseroan sebagai bahan hukum belum atau tidak terpenuhi, pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi, pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan, dan pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak untuk melunasi utang perseroan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Piercing the corporate veil bertujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga ataupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan uraian contoh tersebut di atas, maka dalam menerapkan suatu aturan hukum perlu diperhatikan teori hukum agar diperoleh pemahaman yang benar serta menyeluruh. Dalam praktek hukum di dunia perusahaan harus dipahami tentang apa yang dimaksud pertanggungjawaban secara terbatas pemegang saham, apa akibat hukum dari pertanggungjawaban secara terbatas pemegang saham, mengapa muncul pertanggung jawaban terbatas dalam perseroan, adakah hubungan dengan kriteria perusahaan sebagai badan hukum, dalam hal perbuatan pemegang saham dapat berakibat tidak digunakannya prinsip pertanggungjawaban secara terbatas pemegang saham. Pertanyaan-pertanyaan tersebebut adalah mengarah pada pemahaman teori hukum perusahaan serta teori badan hukum. Dengan demikian, hakim maupun praktisi hukum dalam menerapkan hukum terhadap masalah-masalah hukum perseroan harus mempunyai pemahaman yang benar tentang teorihukum di bidang hukum perusahaan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedua, tidak semua aturan hukum positif mampu memberikan jawaban yang jelas mengenai persoalan hukum praktis sebab di dalamnya terkandung norma yang terbuka, norma yang kabur, bahkan konflik norma sehingga diperlukan pemahaman nengenai konsep-konsep hukum berupa teori hukum maupun asas-asas hukum atau ajaran-ajaran hukum. Hal ini digunakan dalam praktek hukum pada ranah pembentukan hukum atau penemuan hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkit. Sementara orang lebih suka menggunakan “pembentukan hukum” dari pada “penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Rechtvinding menurut J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi dan kontruksi hukum. Kontruksi hukum terdiri atas analogi, argumentum a contrario, dan penyempitan hukum. Konstruksi hukum sangat dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Tatkala terdapat norma yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan ruang lingkupnya terlalu umum dan luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu (penyempitan hukum atau rechtverfijning). Sebagai cntoh, undang-undang tidak menjelaskan apakah kerugian harus diganti juga oleh yang dirugikan yang ikut bersalah menyebabkan kerugian (Pasal 1365 BW), tetapi yurisprudensi menetapkan bahwa kalau ada kesalahan pada yang dirugikan ini hanya dapat menuntut sebagian kerugian dari kerugian yang diakibatkan olehnya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Jika suatu peristiwa tidak diatur secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Maka cara menemukan hukum digunakanlah metode argumentum a contrario yaitu cara menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara pengertian konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Sebagai contoh dari metode ini adalah pasal 39 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 130 hari. Ketentuan ini jika dipahami secara a contrario maka seorang pria yang ditinggal mati oleh isterinya maka tidak ada waktu tunggu baginya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian rechtvinding terkait munculnya konflik norma karena terdapat pertentangan antara norma hukum dari undang-undang maka tipe penyelesaiannya berkaitan dengan asas preferensi hukum yang meliputi asas lex superior, asas lex spesialis, asas lex posterior. Sebagai contoh, penyelesaian konflik norma melalui asas preferensi adalah adanya pertentangan norma hukum antara ketentuan pasal 41 huruf c undang-undang perkawinan dengan asas ultra petitum partium dalam hukum acara perdata.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa pengadilan dapat mewajibkan terhadap bekas suami untuk dapat memberikan biaya penghidupan dan/menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. Ketentuan ini jika dikaitkan dengan perkara cerai talak, yang mana perceraian diajukan oleh pihak suami, maka dimungkinkan hakim akan menjatuhkan putusan sesuatu yang tidak diminta oleh suami. Semisal hakim menghukum bekas suami untuk membayar nafkah ‘iddah dan mut’ah kepada bekas isteri.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun asas ultra petitum partium sebagaimana tercantum dalam pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR menjelaskan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang dituntut. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dua ketentuan tersebut diatas terlihat terdapat pertentangan norma hukum, satu sisi dibuka kemungkinan memutus perkara melebihi dari pada apa yang dituntut maupan yang tidak dituntut tetapi disisi lain tidak membolehkan. Untuk menyelesaikan permasalahan perlu kiranya dilihat dua aturan tersebut secara seksama, aturan yang sebagaimana yang tercantum dalam pasal 41 huruf c Undang-undang perkawinan merupakan aturan yang terkait perkara perceraian, khususnya perkara cerai talak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam hukum Islam dikenal kewajiban yang dibebankan kepada bekas suami jika suami yang mengajukan perceraian, semisal nafkah madliyah, nafkah iddah, dan mut’ah. Hal ini sangat terkait dengan akibat hukum dari suatu perceraian khususnya perceraian yang diajukan oleh pihak suami. Berdasarkan pemahaman tersebut maka aturan dalam pasal tersebut adalah bersifat khusus, sedangkan asas ultra petitum partium merupakan asas umum yang berlaku dalam hukum acara perdata. Dengan mendasarkan pada penggunaan asas preferensi yaitu asas lex special derogate lege generalis maka dapat ditemukan solusi hukumnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Penutup</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa praktek hukum terikat dengan teori hukum dengan dua alasan mendasar berikut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pertama, bahwa hukum positif atau dogmatik hukum digunakan sebagai problem solving atas persoalan hukum yang muncul namun tidak boleh menyalahi konsep umum yang ada dalam teori hukum sebab pada dasarnya dogmatik hukum merupakan refleksi dari pemikiran-pemikiran teori hukum sehingga berarti praktek hukum terikat dengan teori hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedua, bahwa tidak semua aturan hukum positif atau dogmatik hukum mampu memberikan jawaban yang jelas mengenai persoalan hukum praktis sebab di dalamnya terkandung norma yang terbuka, norma yang kabur, bahkan konflik norma sehingga diperlukan pemahaman mengenai konsep-konsep yang ada dalam teori hukum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">DAFTAR PUSTAKA</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Fuady, Munir, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.</div><div style="text-align: justify;">Hadjon, Philipus M. Dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.</div><div style="text-align: justify;">Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002.</div><div style="text-align: justify;">________, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2008.</div><div style="text-align: justify;">Salman, H.R. Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali, Bandung: Refika Aditama, 2008.</div><div style="text-align: justify;">Usman, Rahmadi, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung: Alumni, 2004.</div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-12252112508676521142011-01-18T14:28:00.005+07:002012-03-26T11:34:08.225+07:00Reduksi Kompetensi Absolut Peradilan Agama dalam Perbankan Syariah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Oleh: Alamsyah<br />
<br />
<b>Pendahuluan</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Pengadilan merupakan tempat mencari keadilan dan menyelesaikan persoalan hukum yang muncul, di samping ada alternatif penyelesaian secara non-litigasi yang ada di Indonesia. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pengadilan mempunyai tugas utama, yaitu: memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan, memberi pelayanan yang simpatik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan, serta memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efesien, tuntas dan final sehingga memuaskan kepada para pihak dan masyarakat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan konstitusi terdapat empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Masing-masing peradilan mempunyai kompetensi atau kewenangan sendiri yang sudah diatur oleh undang-undang. Peradilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai kompetensi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara terkait keperdataan Islam.</div><a name='more'></a> <br />
<div style="text-align: justify;">Perkembangan baru dalam ranah dunia peradilan adalah diberikannya kompetensi penyelesaian sengketa ekonomi syariah kepada peradilan agama. Kompetensi tersebut merupakan suatu tantangan baru bagi aparat hukum di lingkungan peradilan agama, sehingga dibutuhkan kesiapan dalam menangani kasus-kasus tersebut. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Persoalan yang muncul kemudian dan akan dibahas dalam tulisan ini adalah terkait kompetensi peradilan mana yang berhak memeriksa dan memutus perkara dalam sengketa perbankan syariah. Dalam Undang-undang Perbankan Syariah diberikan kompetensi mengadili secara litigasi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum. Padahal dalam revisi Undang-undang Peradilan Agama yang baru, sengketa ekonomi syariah menjadi kompetensi absolut peradilan agama. Apakah hal ini berarti ada reduksi kompetensi peradilan agama dalam perbankan syariah?.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><br />
<b>Kewenangan Absolut Peradilan Agama</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Kompetensi absolut peradilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mengalami perubahan strategis sebagai respon atas perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, terutama menyangkut ekonomi syariah seiring kehadiran Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kompetensi absolut yang urgen penulis kemukakan adalah ketentuan Pasal 49 dan Pasal 50.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pasal 49 menyebutkan bahwa pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:</div>a. Perkawinan<br />
b. Waris<br />
c. Wasiat<br />
d. Hibah<br />
e. Wakaf<br />
f. Zakat<br />
g. Infaq<br />
h. Shadaqah, dan<br />
i. Ekonomi Syariah<br />
<div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penjelasan Pasal 49 menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa tidak dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kemudian terkait ekonomi syariah, penjelasan Pasal 49 huruf i menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.</div><br />
Pasal 49 menyebutkan bahwa:<br />
<div style="text-align: justify;">1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.</div><div style="text-align: justify;">2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputuskan oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penjelasan Pasal 50</div><div style="text-align: justify;">Ayat 1</div><div style="text-align: justify;">Cukup jelas</div><div style="text-align: justify;">Ayat 2</div><div style="text-align: justify;">Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa antar orang-orang yang beragama Islam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainnya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek yang bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan umum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa di Pengadilan Agama.</div><div style="text-align: justify;">Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut Mukti Arto, ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolut Pengadilan Agama, yaitu apabila: suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim, atau suatu sengketa yang timbul dari suatu perbuatan/peristiwa hukum yang dilakukan/terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai muslim</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan ketentuan Pasal 49 beserta penjelasannya maka dapat dipahami bahwa subyek hukum dalam sengketa ekonomi syariah, yaitu:</div><div style="text-align: justify;">a. Orang-orang yang beragama Islam;</div><div style="text-align: justify;">b. Orang-orang yang beragama bukan Islam namun menundukkan diri terhadap hukum Islam;</div><div style="text-align: justify;">c. Badan hukum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan hukum Islam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan ketentuan Pasal 50 beserta penjelasannya menunjukkan bahwa asas personalitas keislaman terkait agama yang dianut oleh pihak yang bersengketa dalam sengketa keperdataan mengenai hak milik dikedepankan dalam menentukan kewenangan absolut peradilan yang menangani sengketa tersebut. Jika para pihak yang bersengketa beragama Islam maka peradilan agama mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketentuan ini mempunyai relevansi yang erat dengan penyelesaian sengketa ekonomi syariah terkait jaminan kebendaan, semisal mengenai hak tanggungan dan fiducia. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kehadiran orang yang beragama selain Islam menjadi subyek hukum dalam perkara ekonomi syariah menunjukkan suatu perkembangan hukum di mana kegiatan usaha yang mendasarkan pada prinsip syariah tidak hanya diminati oleh orang-orang Islam saja. Dalam praktek, banyak ditemui para nasabah yang menikmati produk maupun jasa perbankan syarian adalah orang-orang yang beragama bukan Islam. Dengan demikian, konsep ekonomi Islam diharapkan mampu membumi dalam kehidupan masyarakat atau dalam perkataan lain menjadi rahmatan lil alamin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun keberadaan badan hukum menjadi subyek hukum dalam perkara ekonomi syariah adalah relevan seiring dengan pesatnya kegiatan usaha atau bisnis yang melibatkan badan hukum baik berupa perseroan terbatas maupun koperasi. Kegiatan ekonomi syariah tidak hanya melibatkan orang dalam arti manusia pribadi tetapi juga badan hukum. Sehingga tatkala kegiatan ekonomi berdasarkan prinsip syariah tersebut menimbulkan suatu persoalan atau sengketa maka baik manusia pribadi maupun badan hukum dapat bertindak sendiri dalam menyelesaikan sengketanya. Namun, tentunya untuk badan hukum diwakili oleh direksi dalam perseroan terbatas dan pengurus untuk bentuk koperasi. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Reduksi Kewenangan dalam Bidang Perbankan Syariah</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan asas personalitas keislaman pembentuk undang-undang memandang perlu dan tepat melimpahkan kekuasaan penyelesaian perkara ekonomi syari’ah kepada Pengadilan Agama yang merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia yang bertugas menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum Islam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, kekuasaan pengadilan diatur dengan undang-undang. Secara yuridis formal (regulatif), selama ini belum pernah ada suatu peraturan perundang-undangan yang secara khusus melimpahkan kekuasaan mengadili perkara ekonomi syariah ini kepada pengadilan tertentu di Indonesia. Oleh sebab itu, tidaklah salah dan sudah tepat jika masalah ekonomi syariah diserahkan oleh Undang-Undang No.3 Tahun 2006 kepada Pengadilan Agama. Apa yang telah dilimpahkan kepada Pengadilan Agama ini menjadi kekuasaan absolut Pengadilan Agama. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kompetensi absolut peradilan agama mengenai perkara ekonomi syariah sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 menunjukkan bahwa tatkala perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah terdapat sengketa maka muara penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi kompetensi peradilan agama. Adapun penyelesaian melalui non-litigasi dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase dalam hal ini Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dan alternatif penyelesaian sengketa dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Persoalan yang muncul kemudian adalah tatkala Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kompetensi atau kewenangan kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pasal 55</div><div style="text-align: justify;">(1) Penyelesaian perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.</div><div style="text-align: justify;">(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.</div><div style="text-align: justify;">(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Penjelasan Pasal 55 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">a. musyawarah;</div><div style="text-align: justify;">b. mediasi perbankan;</div><div style="text-align: justify;">c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbritase lain; dan/atau </div><div style="text-align: justify;">d. melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketentuan Pasal 55 ayat (2) beserta penjelasannya tersebut menunjukkan adanya reduksi kompetensi absolut peradilan agama di bidang perbankan syariah. Peradilan agama yang berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 mempunyai kompetensi menangani perkara ekonomi syariah yang di dalamnya termasuk perkara perbankan syariah ternyata dikurangi oleh perangkat hukum lain yang notabene sebenarnya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara ekonomi syariah, khususnya di bidang perbankan syariah. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adanya kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah selain menunjukkan adanya reduksi juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi, sekalipun kompetensi yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum atau choice of yurisdiction.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam sejarah kompetensi peradilan agama, pernah berlangsung ketentuan tentang pilihan hukum (choice of law) dalam perkara kewarisan. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 disebutkan bahwa bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan tersebut berdasarkan hukum Islam. Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan. Ketentuan ini kemudian dihapus dengan keberadaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ketentuan Pasal 55 ayat (2) jika dipahami berdasarkan teori hukum perjanjian, maka ketentuan tersebut adalah terkait adanya asas kebebasan berkontrak. Islam memberikan kebebasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan para pihak yang menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun kebebasan ini tidak absolut. Sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil, bahwa syariah Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) menyebutkan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata “semua” dipahami mengandung asas kebebasan berkontrak, yaitu suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:</div><div style="text-align: justify;">a. membuat atau tidak membuat perjanjian,</div><div style="text-align: justify;">b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun,</div><div style="text-align: justify;">c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, dan</div><div style="text-align: justify;">d. menentukan bentuk perjanjian, yaitu secara tertulis atau lisan. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Munculnya isi perjanjian dimana para pihak menyepakati jika terjadi suatu sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum merupakan kebebasan para pihak dalam menentukan isi suatu perjanjian, yang termasuk di dalamnya mengenai pilihan lembaga dalam menyelesaikan sengketa.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Ada dua cara dalam menentukan pilihan di mana sengketa akan diselesaikan berdasarkan belum atau sudah terjadinya sengketa, yaitu melalui factum de compromittendo dan acta compromis. Factum de compromittendo merupakan kesepakatan para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai domisili hukum yang akan dipilih tatkala terjadi sengketa. Ketentuan ini biasa dicantumkan dalam kontrak atau akad yang merupakan klausula antisipatif. Sedangkan acta compromis adalah suatu perjanjian tersendiri yang dibuat setelah terjadinya sengketa. Namun demikian, pilihan tempat penyelesaian sengketa di sini lebih mengarah pada wilayah yurisdiksi pengadilan dalam satu lingkungan peradilan, bukan pilihan terhadap peradilan di lingkungan yang berbeda.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut Munir Fuady, ada beberapa keuntungan dari choice of forum dalam praktek penyusunan kontrak, yaitu:</div><div style="text-align: justify;">a. Bahwa pengadilan tersebut lebih mengetahui hukum yang berlaku jika dipilih pengadilan yang terletak di tempat/di negara yang juga dipilih hukumnya.</div><div style="text-align: justify;">b. Bahwa pengadilan tersebut lebih mengetahui kasus yang bersangkutan jika yang dipilih adalah pengadilan tempat terjadinya kasus atau tempat dilaksankannya kontrak tersebut.</div><div style="text-align: justify;">c. Bahwa pengadilan tersebut dan para pihak lebih banyak akses ke alat bukti, termasuk alat bukti saksi jika yang dipilih adalah pengadilan tempat terjadinya kasus atau tempat dilaksanakannya kontrak tersebut. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adanya choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah berdasarkan Pasal 55 ayat (2) menunjukkan inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan aturan hukum. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 secara jelas memberikan kompetensi kepada peradilan agama untuk mengadili sengketa ekonomi syariah, termasuk perbankan syariah sebagai suatu kompetensi absolut. Alasan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan agama belum familiar menyelesaikan sengketa perbankan bukan menjadi suatu alasan yang logis untuk mereduksi kewenangan mengadili dalam sengketa perbankan syariah. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Di samping itu, keberadaan choice of forum akan sangat berpengaruh pada daya kompetensi peradilan agama. Pelaksanaan kompetensi dalam perbankan syariah, akan sangat bergantung pada isi akad atau kontrak. Jika para pihak yang mengadakan akad atau kontrak menetapkan penyelesaian sengketa pada pengadilan di lingkungan peradilan umum maka kompetensi yang dimiliki peradilan agama hanya sebatas kompetensi secara teks diberikan oleh undang-undang tetapi dalam praktek tidak secara optimal berfungsi karena harus berbagi dengan pengadilan negeri khususnya jika dalam akad telah disebutkan akan diselesaikan di pengadilan tersebut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sebenarnya, pemilihan lembaga peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, merupakan suatu pilihan yang tepat. Kesesuaian penerapan hukum materiil yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah dengan lembaga peradilan agama sebagai representasi lembaga peradilan yang mewadahi para pencari keadilan yang beragama Islam atau yang tunduk pada hukum Islam dapat tercapai. Di samping itu, aparat hukumnya adalah beragama Islam dan memahami hukum Islam. </div><div style="text-align: justify;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Penutup</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan uraian di atas, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">pertama, kompetensi absolut peradilan agama diperluas berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 yaitu berwenang memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syariah meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah. Di samping itu, berdasarkan undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa subyek hukum dalam sengketa ekonomi syariah adalah orang-orang yang beragama Islam, termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedua, kehadiran Undang-undang Perbankan Syariah yang memberikan kompetensi atau kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan umum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah mereduksi kompetensi absolut peradilan agama, yang mana dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2006 sangat jelas disebutkan bahwa peradilan agama mempunyai kompetensi absolut di bidang ekonomi syariah, termasuk di dalamnya mengenai bank syariah. Di samping itu, daya kerja kompetensi peradilan agama mengenai sengketa perbankan syariah sangat bergantung pada penentuan choice of forum oleh para pihak yang dituangkan dalam akad.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dengan tulisan ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam pengkajian ulang terhadap Undang-undang Perbankan Syariah terkait kompetensi peradilan yang berwenang, serta diharapkan perundang-undangan yang akan dibentuk selanjutnya yang terkait ekonomi syariah tetap memberikan penyelesaian sengketa secara litigasi kepada peradilan agama secara penuh dan selaras dengan kompetensi absolut peradilan agama yang telah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2006.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>DAFTAR PUSTAKA</b></div><div style="text-align: justify;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: justify;">Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2005.</div><div style="text-align: justify;">Arto, A. Mukti, Mencari Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001.</div><div style="text-align: justify;">____, A. Mukti, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Pengadilan Agama, Makalah, tidak dipublikasikan.</div><div style="text-align: justify;">____, A. Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004</div><div style="text-align: justify;">Dewi, Gemala, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.</div><div style="text-align: justify;">Djamil, Faturrahman, Hukum Perjanjian Syariah, dalam Kompilasi Hukum Perikatan oleh Mariam Darus Badrulzaman, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.</div><div style="text-align: justify;">Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.</div><div style="text-align: justify;">Manan, Abdul, Sistem Ekonomi Berdasarkan Syariah (artikel dalam Suara Udilag, Vo.3, no.IX, September 2006, Jakarta, MA-RI.</div><div style="text-align: justify;">Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2002.</div><div style="text-align: justify;">Rahman, Hasanuddin, Contract Drafting, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.</div><div style="text-align: justify;">Salim H.S, Hukum Kontrak: teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.</div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5211279891045017323.post-36942999554722826442011-01-17T15:46:00.006+07:002012-03-26T11:34:19.923+07:00Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum (Studi Atas Yurisprudensi Mahkamah Agung Tentang Hadlanah dan Nafkah Iddah)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">Oleh: Alamsyah <br />
<br />
<b>A. PENDAHULUAN</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Hukum mempunyai relevansi yang erat dengan keadilan. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-sungguh berarti sebagai hukum. Hal ini terkait dengan tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu ko-eksistensi etis di dunia. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup dengan damai menuju kebahagiaan</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hakikat hukum adalah membawa aturan yang adil dalam masyarakat. Hukum harus mengadakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat, sebagaimana dicita-citakan. Hukum mengandung suatu tuntutan keadilan. Diharapkan seluruh ketentuan yang mengatur segala perilaku atau keadaan manusia dalam kehidupan mencerminkan rasa keadilan.</div><a name='more'></a><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pengadilan tidak hanya sebagai badan yang memeriksa dan mengadili perkara melainkan masuk dalam pengertian abstrak juga yaitu memberikan keadilan. Hal memberikan keadilan yang berkaitan dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan – kongkritnya kepada yang mohon keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tugasnya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini ditentukan oleh kredibilitas dan dan profesionalitas hakim dalam menjalankan tugasnya, menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam tulisan ini akan mengkaji mengenai keadilan dalam pandangan filsafat hukum dengan membahas ratio decidendi yurisprudensi Mahkamah Agung terkait persoalan hak hadlanah dan nafkah iddah dalam perkara perceraian.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><b>B. PEMBAHASAN</b><br />
<br />
<b>1. Teori Keadilan</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Teori teori hukum alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam mengutamakan “the search for justice”. Terdapat macam-macam teori mengenahi keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Di antara teori-teori tersebut dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pemikiran Aristoteles mengenai keadilan dapat dipelajari dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Khusus dalam buku nicomachean ethics, sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.Yang sangat urgen dari pemikirannya adalah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Sedangkan keadilan menurut John Rawls, bahwa teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Persoalan keadilan juga menjadi bahasan dalam ranah filsafat hukum Islam, yang biasa disebut teori maslahat. Kajian tentang maslahat sering kali dibahas tatkala berbicara tentang maqasyid syari’ah. Konsep maqasyid syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat. Maqasyid syari’ah menegaskan bahwa hukum Islam disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqasyid syari’ah adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Konsep maslahat yang popular dan menjadi prioritas yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.</div><br />
<b>2. Studi Yurisprudensi tentang Hadlanah dan Nafkah Iddah</b><br />
<br />
Yurisprudensi Nomor : 110/K/AG/2007<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Berbicara tentang duduk perkara, diketahui bahwa suami isteri Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai seorang anak perempuan, lahir di Jakarta, tanggal 12 November 2001. Kurang lebih dua tahun terakhir dalam perkawinan mereka terus-menerus telah terjadi percekcokan sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi. Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah antara Penggugat dan Tergugat telah ditempuh, akan tetapi tidak membuahkan hasil.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Mengingat anak dimaksud belum mumayyiz, Penggugat mengajukan supaya anak berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat sebagai ibunya. Dan mengingat anak masih membutuhkan biaya pemeliharaan dan pendidikan, maka patut dan cukup alasan biaya-biaya dimaksud dibagi sama rata besarnya antara Penggugat dan Tergugat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama menetapkan pengasuhan dan pemeliharaan anak Penggugat dan Tergugat berada di pihak Tergugat (ayah si anak). Pada tingkat banding, putusan Pengadilan Agama tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama, yang menetapkan Penggugat sebagai pemegang hadlanah terhadap si anak dan memerintahkan kepada Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada Penggugat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-mata dilihat dari siapa yang paling berhak, akan tetapi harus melihat fakta ikut siapa yang lebih tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak, dengan kata lain yang harus dikedepankan adalah kepentingan si anak, bukan siapa yang paling berhak. Fakta yang telah diungkap oleh Hakim Pertama, si anak akan lebih menderita sekiranya ia harus ikut ibunya, karena ibu si anak sering bepergian ke luar negeri, dan tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan fakta yang ada sekarang si anak tenang dan tenteram bersama ayahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bahwa sekalipun anak tersebut ditetapkan di bawah hadlanah Pemohon Kasasi/Tergugat selaku ayahnya, akan tetapi tidak boleh memutuskan hubungan komunikasi dengan Termohon Kasasi/Penggugat selaku ibunya, dan Termohon Kasasi/Penggugat mempunyai hak untuk berkunjung atau menjenguk dan membantu mendidik serta mencurahkan kasih sayangnya sebagai seorang ibu terhadap anaknya.</div><div style="text-align: justify;">Amar putusan Mahkamah Agung menetapkan hak hadlanah ada pada Penggugat Rekonvensi (ayah si anak) dan memerintahkan kepada Penggugat Rekonvensi untuk memberi kesempatan kepada Tergugat Rekonvensi selaku ibu kandungnya untuk bertemu dengan anaknya tersebut dan ikut bersamanya pada hari-hari libur sekolah atau hari-hari yang disepakati.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Agung, dipahami bahwa pertimbangan utama dalam masalah hadlanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Jika dipahami mendasarkan pada keadilan dalam pemikiran Aristoteles, maka keadilan yang diterapkan oleh hakim lebih mengarah pada keadilan proporsional. Fakta bahwa ayah si anak yang selama ini lebih memperhatikan kehidupan anak dan kenyamanan anak hidup bersama ayahnya tentu menunjukkan suatu hal yang adil bilamana hak hadlanah di berikan kepada si ayah daripada diberikan kepada ibunya yang sering meninggalkan si anak karena sering bekerja ke luar negeri. Namun demikian, walaupun hakim telah memutuskan bahwa hadlanah berada pada si ayah namun ibu tetap diberi hak untuk selalu berkomunikasi dengan anak serta memberi kesempatan bertemu dan mengajak anaknya pada hari-hari libur maupun hari-hari yang disepakati. Putusan hakim ini kalau dicermati secara seksama adalah memberikan putusan yang menguntungkan kedua belah, baik si ayah maupun ibu dari anak tersebut, sehingga dapat dikatakan putusan yang bersifat win-win solution.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Selama ini banyak hakim yang berorientasi pada segi normatif saja dalam pemeliharaan anak (hadlanah), dengan berdasar pada Kompilasi Hukum Islam maupun kitab-kitab fiqh klasik. Pasal 105 KHI menentukan bahwa dalam hal terjadi perceraian: a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adanya yurisprudensi tersebut setidaknya menepis opini miring bahwa penyelesaian sengketa dengan menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Apabila ditinjau berdasar teori maslahah maka sebenarnya yurisprudensi tersebut mencerminkan penggunaan pandangan kemaslahatan dalam memutus hak hadlanah daripada segi normatif siapa yang paling berhak. Hakim lebih memandang kemaslahatan dan kepentingan si anak daripada aturan normatif yang menunjukkan hak hadlanah jatuh kepada si ibu sebab anak belum mumayyiz. Hakim melihat bahwa lebih banyak mudaratnya jika hak hadlanah diberikan kepada si ibu karena dia sering pergi ke luar negeri dan kurang memperhatikan kepentingan anak. Dalam hadis disebutkan bahwa “ meniadakan kemadaratan dan tidak menciptakan suatu kemadaratan”.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Perlu dipahami bahwa dalam penegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan dan ditegakkan. Adanya kepastian hukum diharapkan terciptanya masyarakat yang lebih tertib. Manfaat juga diperlukan dalam pelaksanaan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai jutru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan dalam masyarakat. Unsur lain yang harus diperhatikan pula adalah keadilan. Bahwa dalam pelaksanaan hukum maupun penegakkan hukum harus memperhatikan keadilan bagi masyarakat. Hakim dalam memutus perkara harus mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang di antara ketiga unsur walaupun hal demikian adalah sangat sulit dipraktekkan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hakim mengemban suatu amanat agar selalu dapat menjamin bahwa peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengeyampingkan peraturan perundang-undangan. Hakim mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk dapat menimbulkan manfaat bagi orang lain melalui putusan hukumnya. Hakim dapat selalu merefleksikan rasa keadilan hukum masyarakat dan bahwa putusan itu sendiri merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya atas suatu perkara. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Yurisprudensi Nomor : 137/K/AG/2007<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Berbicara tentang duduk perkara, diketahui bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang menikah pada tanggal 20 November 1984 dan telah dikaruniai tiga orang anak. Sejak tahun 2001 dirasakan adanya ketidakhamonisan dalam rumah tangga. Antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi percekcokan dan pertengkaran yang berakhir dengan ancaman dari Tergugat. Tergugat sering melontarkan kata-kata kotor dalam setiap pertengkaran. Apabila terjadi perselisihan Tergugat sering mengancam Penggugat dengan senjata tajam yang dapat membahayakan keselamatan Penggugat dan anak-anak Penggugat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kurang lebih dua tahun sampai gugatan ini diajukan, Tergugat tidak pernah memberi nafkah kepada Penggugat. Penggugat telah berusaha memperbaiki kondisi ekonomi rumah tangga dengan bekerja untuk membantu tambahan biaya hidup sambil menunggu adanya pengertian dan perubahan sikap dari Tergugat, namun Tergugat malahan cemburu dan mengancam teman kerja Penggugat.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama agar menyatakan jatuh talak satu khul’i dari Tergugat terhadap diri Penggugat dengan iwad Rp. 10.000,-.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Hal yang menarik dikaji dari Yurisprudensi tersebut adalah adanya amar putusan yang tidak dituntut oleh Penggugat yaitu amar tentang nafkah iddah dan anak. Jika kita melihat sepintas tentu hal ini bertentangan dengan asas ultra petitum partium yang termaktub dalam Pasal 178 ayat (3) HIR yang menyebutkan hakim dilarang memutus melebihi dari apa yang dituntut atau yang tidak dituntut.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Namun karena nafkah dan nafkah anak termasuk dalam akibat perceraian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 41 huruf c Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka ketentuan tersebut menurut penulis merupakan lex specialis sedangkan asas ultra petitum partium adalah lex generalis, sehingga berdasarkan asas preferensi lex specialis derogate lege generalis, maka aturan yang terdapat dalam pasal 41 huruf c dapat diterapkan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Amar tentang nafkah iddah merupakan suatu dictum yang menarik dibahas, sebab dalam perkara cerai gugat biasanya isteri tidak memperoleh nafkah iddah karena dianggap nusyuz. Berdasarkan ketentuan Pasal 149 KHI maka nafkah iddah diberikan dalam hal perkara cerai talak (cerai yang diajukan oleh suami), bukan cerai gugat (cerai yang diajukan isteri).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam masalah iddah yaitu bahwa sesuai ketentuan Pasal 41 huruf (c) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, meskipun gugatan diajukan oleh isteri akan tetapi tidak terbukti isteri telah berbuat nusyuz, maka Mahkamah Agung berpendapat Termohon kasasi harus dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada Pemohon kasasi, dengan alasan isteri harus mejalani masa iddah dan tujuan dari iddah antara lain untuk istibra’, yang istibra’ tersebut menyangkut kepentingan suami.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Menurut penulis putusan yang memberikan nafkah iddah kepada pihak Penggugat merupakan suatu hal yang adil. Isteri yang menggugat cerai suaminya tidak selalu dihukumi nusyuz. Meskipun gugatan perceraian diajukan oleh isteri tetapi tidak terbukti isteri telah berbuat nusyuz, maka secara ex officio suami dapat dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isteri sebab bekas isteri harus menjalani masa iddah.</div><div style="text-align: justify;">Pemikiran bahwa isteri yang mengajukan gugatan perceraian selalu dipandang nusyuz yang selama ini menghegemoni pola berfikir kebanyakan para hakim di Peradilan Agama harus mulai diubah karena pemikiran semacam itu dinilai tidak adil.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Harusnya, yang harus dicermati adalah filosofi mengapa dalam perkara cerai gugat isteri tidak berhak menerima nafkah iddah. Isteri yang mengajukan gugatan perceraian tidaklah selalu dianggap nusyuz, sebab alasan isteri sampai mengajukan gugatan cerai juga banyak disebabkan oleh perilaku suami yang tidak bertanggung jawab atau melakukan tindakan yang dapat dipakai oleh isteri sebagai alasan perceraian sesuai dengan ketentuan hukum positif. Sehingga jika isteri tidak terbukti berbuat nusyuz maka isteri berhak menerima nafkah iddah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada saat pembuatan putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan Saleh , seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakikat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena itu, hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih daripada itu ‘perilaku’.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Undang-undang memang penting dalam Negara hukum. Akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal dalam undang-undang. Bahkan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 disebutkan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Semuanya itu dimaksudkan agar putusan hakim benar-benar memberikan suatu keadilan.</div><br />
<b>B. PENUTUP</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, keadilan menurut konsep Aristoteles mesti dipahami dalam pengertian kesamaan, yaitu kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. John Rawl menegaskan bahwa program penegakkan keadilan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu: pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Sedangkan keadilan dalam ranah filsafat hukum Islam masuk dalam bahasan maqasyid syari’ah yang terkonstruk dalam bangunan teori maslahah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Kedua, berdasarkan studi atas yurisprudensi dipahami bahwa dalam penentuan hak hadlanah (pemeliharaan anak) adalah kemaslahatan dan kepentingan si anak, bukan semata-mata yang secara normatif paling berhak. Mengenai persoalan nafkah iddah dipahami bahwa isteri yang menggugat cerai suaminya tidak selalu dihukumkan nusyuz. Meskipun gugatan perceraian diajukan oleh isteri tetapi tidak terbukti isteri telah berbuat nusyuz , maka secara ex officio suami dapat dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isterinya.</div><br />
<br />
<b>DAFTAR PUSTAKA</b><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Friederich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.</div><div style="text-align: justify;">Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.</div><div style="text-align: justify;">Manan, Bagir, Wajah Hukum di Era Reformasi, Bandung: Citra Aditya bakti, 2000.</div><div style="text-align: justify;">Mertokusumo, Sudikono, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2007.</div><div style="text-align: justify;">Rawl, John, Teori Keadilan, terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.</div><div style="text-align: justify;">Suparman, Eman, Persepsi tentang Keadilan dan Budaya Hukum dalam Penyelesaian Sengketa, http.// resources.unpad.ac.id.</div><div style="text-align: justify;">Suparmono, Rudi, Peran Serta Hakim Dalam Pembelajaran Hukum, Varia Peradilan edisi Mei 2006.</div><div style="text-align: justify;">Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110/K/AG/2007</div><div style="text-align: justify;">Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 137/K/AG/2007</div></div>Alamsyahhttp://www.blogger.com/profile/05434474570359573453noreply@blogger.com0