Main image

Sunday, March 25, 2012

Klausula Eksemsi dalam Kontrak Baku Syariah


Oleh: Alamsyah
 
Pendahuluan

Eksistensi kontrak bernilai urgen bagi kehidupan manusia karena dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan manusia yang tidak mampu dipenuhi sendiri tanpa bantuan orang lain. Aturan main dalam pemenuhan kebutuhan dengan melibatkan orang lain haruslah jelas dan dewasa ini perlu dituangkan dalam suatu kontrak yang dapat melindungi kepentingan masing-masing pihak.  Sehingga dapatlah dipahami apabila kontrak dikatakan sebagai sarana sosial dalam peradaban manusia untuk mendukung kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.

Perkembangan dunia bisnis yang terus meningkat ternyata juga diikuti dengan tuntutan penggunaan model kontrak yang simple, efisien, dan mampu menampung kepentingan para pelaku bisnis melalui kontrak baku (standard contract). Dengan kontrak baku ini, pelaku bisnis terutama produsen dan kreditur telah menyiapkan klausula-klausula baku yang dituangkan dalam suatu kontrak tertentu. Pihak konsumen atau debitur tinggal membaca isi kontrak baku tersebut dengan pilihan take it or leave it sehingga kesempatan untuk bernegosiasi sebagai proses awal memperoleh kata sepakat sangat kecil bahkan terabaikan.

Kontrak baku dalam dunia bisnis dalam prakteknya tidak hanya dilakukan dalam transaksi konvensional tetapi juga banyak dilakukan dalam transaksi yang berlandaskan pada prinsip syariah oleh lembaga keuangan bank maupun non-bank. Hal ini menunjukkan bahwa keberlakuan kontrak baku memang sudah menjadi suatu keniscayaan bisnis yang dapat diterima keberadaannya oleh masyarakat dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Penggunaan kontrak baku sebagai wujud efisiensi bisnis oleh para pelaku usaha terutama pihak yang memiliki posisi dominan dalam melakukan transaksi ternyata juga dipakai untuk memperoleh keuntungan (benefits) dengan cara mencantumkan klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak. Klausula eksemsi yang biasa tercantum dalam kontrak baku tentu menjadi masalah terlebih dalam kontrak syariah yang mengedepankan pemberlakuan prinsip syariah.

Berdasarkan uraian di atas, dalam tulisan ini akan diuraikan pembahasan mengenai kontrak baku dan klausula eksemsi serta analisis terhadap klausula-klausula dalam kontrak syariah yang dinilai mengandung klausula eksemsi.

Pembahasan

1.      Kontrak Baku

Kontrak atau perjanjian pada dasarnya dibuat berlandaskan pada asas kebebasan berkontrak di antara dua pihak yang memiliki kedudukan seimbang dan kedua pihak berusaha mencapai kata sepakat melalui proses negosiasi. Dalam perkembangannya, banyak perjanjian dalam transaksi bisnis bukan terjadi melalui negosiasi yang seimbang di antara para pihak. Salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada formulir perjanjian yang sudah ada kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. Perjanjian yang demikian disebut sebagai perjanjian baku atau perjanjian standar atau perjanjian adhesi.[1] Kata baku atau standar artinya tolok ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang menandakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku meliputi model, rumusan dan ukuran.[2]

Kontrak baku adalah kontrak yang telah dibuat secara baku (form standard), atau dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blangko untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi, jenis, dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya sehingga tidak membuka kesempatan kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk dituangkan dalam kontrak.[3]

Ada pendapat beberapa ahli hukum mengenai keabsahan kontrak baku adalah sebagai berikut:[4]
1.   Pitlo berpendapat bahwa kontrak baku merupakan kontrak paksaan (dwang contract) karena kebebasan para pihak yang dijamin oleh ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata sudah dilanggar sedangkan pihak yang lemah terpaksa menerimanya sebab mereka tidak mampu berbuat lain.
2.  Sluyter berpendapat bahwa perbuatan kreditur secara sepihak menentukan isi kontrak standar secara materiil melahirkan pembentuk undang-undang swasta (legio particuliere wetgevers).
3.  Stein berpendapat bahwa dasar berlakunya kontrak baku atau standar adalah de fictie van will of vertrouwen sehingga kebebasan kehendak yang sunguh-sungguh tidak ada pada para pihak, khususnya debitur.

Menurut Subekti, pelangaran terhadap asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata jo. Pasal 1338 KUH Perdata mengakibatkan kontrak menjadi tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang. Kemudian menurut Hardijan Rusli, kontrak baku menjadi tidak patut atau tidak adil jika kontrak itu terbentuk pada suatu hubungan atau keadaan yang tidak seimbang. Jika kepatutan atau ketidakadilan itu terjadi pada suatu hubungan para pihak tidak seimbang, maka keadaan ini dinamakan undue influence. Sedangkan jika ketidakadilan terjadi pada suatu keadaan (bukan hubungan) yang tidak seimbang, maka hal ini dinamakan unconscionability. Undue influence dipandang dari akibat ketidakseimbangan itu terhadap pemberian kesempatan dari pihak yang dipengaruhi, sedangkan unconscionability dipandang dari kelakuan pihak yang kuat dalam usahanya memaksakan atau memanfaatkan transaksinya terhadap orang yang lemah.[5]

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), klausula baku dimaknai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh konsumen.

Lebih lanjut Pasal 18 ayat (1) UUPK menjelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuatnya apabila:
a.       Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b.      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
c.       Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
d.     Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
e.    Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f.     Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
g.    Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h.       Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
dan dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK, pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Pemberlakuan kontrak baku dalam praktek transaksi syariah harus tetap berlandaskan pada prinsip syariah. Menurut Iswahyudi A. Karim, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kontrak syariah adalah hal yang diperjanjikan dan obyek transaksi harus halal menurut syariat, tidak terdapat ketidakjelasan (gharar) dalam rumusan akad maupun prestasi yang diperjanjikan, para pihaknya tidak menzalimi dan tidak dizalimi, transaksi harus adil, transaksi tidak mengandung unsur perjudian (maisyir), terdapat prinsip kehati-hatian, tidak membuat barang-barang yang tidak bermanfaat dalam Islam ataupun barang najis (najsy), dan tidak mengandung riba.[6]

Di samping itu, perlu diperhatikan beberapa asas yang berlaku dalam hukum perikatan Islam, yaitu sebagai berikut:[7]
a.       Asas kebebasan berkontrak (al-hurriyah)
Suatu kontrak dalam hukum Islam harus dilandasi adanya kebebasan berkehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak yang mengadakan transaksi (Q.S.4: 29). Menurut Faturrahman Djamil, bahwa syariat Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran agama.[8]
b.      Asas konsensualisme (ar-ridha’iyah)
Asas ini menekankan adanya kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menyatakan keinginannya dalam mengadakan transaksi. Suatu akad baru lahir setelah dilaksanakan ijab dan kabul. Dalam hal ini diperlukan kejelasan pernyataan kehendak dan harus adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Selain itu, harus adanya komunikasi antara para pihak yang bertransaksi dan di sini juga diperlukan adanya kerelaan kedua pihak mengenai hal-hal yang diakadkan.
Mengenai kerelaan ini, harus terwujud dengan adanya kebebasan berkehendak dari masing-masing pihak yang bersangkutan dalam transaksi tersebut. Pada asas konsensualisme ini, kebebasan berkehendak dari para pihak harus selalu diperhatikan. Pelanggaran terhadap kebebasan kehendak itu berakibat tidak dapat dibenarkannya akad tersebut.
c.       Asas persamaan (al-musawamah)
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat dan kesetaraan para pihak dalam bertransaksi. Apabila ada kondisi yang menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan maka undang-undang dapat mengatur batasan hak dan kewajiban dan meluruskan kedudukan para pihak melalui pengaturan klausula dalam kontrak.
d.      Asas keadilan (al-adalah)
Menurut Yusuf Qardhawi, keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu, baik moral ataupun materiil, antara individu dan masyarakat, dan antara masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan pada syariat Islam.[9] Asas keadilan dalam hal ini menuntut para pihak yang berkontrak untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi kontrak yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya. Asas ini juga berarti bahwa segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan.
e.       Asas kejujuran dan kebenaran (as-shidiq)
Kejujuran adalah satu nilai etika mendasar dalam Islam. Allah memerintahkan semua muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perkataan (QS. 33: 70). Nilai kebenaran memberikan pengaruh kepada para pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan. Apabila asas ini tidak dilaksanakan maka akan merusak legalitas akad yang dibuat. Perbuatan muamalat dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perikatan dan juga bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perbuatan muamalat yang mendatangkan madharat adalah dilarang.[10]
f.        Asas manfaat
Asas ini memperingatkan bahwa sesuatu bentuk transaksi dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat. Dalam suatu kontrak, objek apa yang akan diakadkan pada tiap akad yang diadakan haruslah mengandung manfaat bagi kedua belah pihak.
g.       Asas saling menguntungkan (at-ta’awun)
Setiap akad yang dilakukan haruslah bersifat saling menguntungkan semua pihak yang melakukan akad.

Lebih lanjut, mengenai kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah menurut Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
a.       Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b.      Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
c.       Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur dalam syariah;
d.      Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah, atau ;
e.       Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Berdasarkan uraian tentang asas-asas yang berlaku dalam perikatan Islam, beberapa prinsip syariah, dan hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kontrak syariah maka keberadaan klausula baku dalam kontrak syariah dinilai sah apabila tidak bertentangan dengan hal-hal tersebut.

2.      Klausula Eksemsi

Sumber malapetaka dalam suatu kontrak baku adalah terdapatnya beberapa klausula dalam kontrak tersebut yang memberatkan salah satu pihak. Klausula berat sebelah ini biasa disebut klausula eksemsi (exemtion clause), dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah exoneratie clausule. Yang dimaksud klausula eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.[11]

Dalam KUH Perdata terdapat asas hukum yang dapat dipakai sebagai tolok ukur guna menentukan apakah substansi suatu klausul dalam kontrak baku merupakan klausula yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnnya. Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUH Perdata dapai dipakai sebagai salah satu tolok ukur yang dimaksud.[12]

Pasal 1337 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu kausa adalah terlarang apabila kausa itu dilarang oleh undang-undang atau bertentangan sengan moral atau dengan keteriban umum. Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa isi atau klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, moral dan atau ketertiban umum.

Pasal 1339 KUH Perdata menyebutkan bahwa persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalam, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Pasal ini haruslah ditafsirkan bahwa bukan hanya ketentuan-ketentuan dari kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang yang membolehkan atau berisi suruhan saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu kontrak, melainkan juga ketentuan-ketentuan yang melarang atau berisi larangan mengikat atau berlaku bagi perjanjian itu. Dengan kata lain, larangan-larangan yang ditentukan (atau hal-hal yang terlarang) oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang merupakan juga syarat-syarat dari suatu kontrak.

Keabsahan kontrak baku ditentukan dari apakah kontrak baku tersebut berat sebelah atau tidak dan apakah mengandung klausula secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya sehingga kontrak baku tersebut dapat menindas dan tidak adil bagi pihak yang menggunakan kontrak baku tersebut. Maksud berat sebelah di sini adalah dalam kontrak tersebut hanya mencantumkan hak-hak dari salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan kontrak baku tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban pihaknya dan sebaliknya hanya atau terutama menyebutkan kewajiban-kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadi hak-hak pihak lainnya itu tidak disebutkan.[13]

Secara yuridis-teknis, syarat eksemsi dalam suatu kontrak biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut:
a.       Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap kewajiban-kewajiban hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak. Misalnya dilakukan upaya perluasan pengertian force majeure.
b.      Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar. Misalnya pengurangan atau penghapusan ganti kerugian jika terjadi wanprestasi dari salah satu pihak dalam kontrak.
c.       Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak dalam kontrak. Misalnya, tanggung jawab salah satu pihak, tetapi dibebankan kepada pihak lain dalam hal terjadi kerugian kepada pihak ketiga yang berada di luar kontrak.[14]
3.      Analisis Klausula Eksemsi dalam Kontrak Syariah

Berdasarkan penelaahan penulis terhadap beberapa kontrak syariah ditemukan beberapa klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak. Contoh pasal dalam kontrak murabahah sebagai berikut:
Pasal (dalam kontrak murabahah)
Pembatasan Terhadap Tindakan Pihak Kedua

Selama jangka waktu perjanjian, Pihak Kedua tidak akan melakukan sebagian atau seluruhnya dari perbuatan-perbuatan sebagai berikut, kecuali setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama:
1.      Melakukan akuisisi, merger, restrukturisasi dan/atau konsolidasi kegiatan usaha Pihak Kedua dengan pihak lain.
2.      Menjual baik sebagian atau seluruhnya asset Pihak Kedua yang nyata-nyata mempengaruhi kemampuan atau cara membayar atau melunasi kewajiban Pihak Kedua atau sisa kewajiban Pihak Kedua kecuali menjual barang dagangan yang menjadi kegiatan usaha Pihak Kedua.
3.      Membuat utang lain kepada pihak ketiga.
4.      Melakukan investasi baru, baik yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan tujuan kegiatan usaha Pihak Kedua.
5.      Memindahkan kedudukan/lokasi barang maupun barang jaminan dari kedudukan/lokasi barang itu semula atau sepatutnya berada, dan/atau mengalihkan hak atas barang atau jaminan yang bersangkutan kepada pihak lain.
6.      Mengajukan kepada pihak yang berwenang untuk menunjuk eksekutor, curator, likuidator atau pengawas atas sebagian atau seluruh harta kekayaannya.

Klausula yang ditetapkan pihak kreditur atau Pihak Pertama (dalam kontrak ini adalah KJKS) mengenai pembatasan tindakan debitur dalam melakukan tindakan bisnis jelas memberatkan debitur. Investasi baru serta melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga dalam rangka melakukan pengembangan bisnis harusnya tidak dikekang oleh pihak kreditur karena hal itu  tidak berhubungan dengan kontrak yang dibuat, apalagi klausula tersebut terdapat dalam kontrak murabahah pengadaan rumah.

Pengalihan asset yang dimiliki debitur demi kepentingan bisnisnya harusnya tidak dikekang dengan keharusan mendapat persetujuan dari pihak kreditur karena dalam kontrak tersebut telah diatur adanya jaminan yang harus diberikan pihak debitur sebagai jaminan terlaksananya kewajiban debitur dalam kontrak murabahah tersebut. Yang mana, kreditur menempatkan kedudukannya sebagai kreditur yang didahulukan. Seharusnya penambahan klausul dalam suatu kontrak tidaklah menjadikan suatu yang memberatkan salah satu pihak terlebih dalam kasus ini membatasi dalam hal melakukan tindakan dan pengembangan bisnis.

Klausula mengenai pembatasan tindakan yang memberatkan bagi debitur menunjukkan terjadinya ketidakadilan terhadap salah satu pihak di dalam kontrak. Harus diingat bahwa kegiatan usaha yang berlandaskan pada prinsip syariah, salah satunya harus tidak mengandung unsur zalim yaitu menimbulkan ketidakadilan bagi salah satu pihak. Adanya pembatasan tindakan terhadap salah satu pihak dalam kontrak haruslah dilakukan secara seimbang dengan hak yang dimiliki serta mempunyai relevansi yang kuat dengan tujuan dan substansi kontrak yang dibuat.

Suatu syarat atau ketentuan dibenarkan untuk dimasukkan sebagai klausul dalam suatu kontrak, yaitu pertama, syarat yang memperkuat konsekuensi kontrak. Maksudnya adalah bahwa syarat tersebut merupakan akibat hukum kontrak sendiri yang ditentukan oleh hukum syariah sehingga apakah syarat itu dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam kontrak sebagai klausul, tidak menambah hal baru dalam isi kontrak. Kedua, syarat yang selaras dengan akad. Maksudnya adalah syarat yang tidak merupakan konsekuensi kontrak, artinya tidak ditetapkan oleh hukum syariah, melainkan diperjanjikan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan dalam rangka memperkuat pelaksanaan kontrak. Ketiga, syarat yang telah berlaku dalam adat kebiasaan. Keempat, syarat yang mengandung manfaat bagi salah satu dari kedua belah pihak atau pihak ketiga selama tidak dilarang oleh hukum. Syarat-syarat selain dari empat tersebut tidak sah dan karena itu dinamakan fasid.[15]
Pasal (dalam kontrak murabahah)
Risiko-risiko

Pihak Kedua bertanggung jawab untuk memeriksa dan meneliti kondisi barang yang dibeli dari pemasok, termasuk terhadap sahnya dokumen-dokumen atau surat-surat bukti kepemilikan barang Pihak Pertama tidak berkewajiban memeriksa kondisi barang dan tidak bertanggung jawab atas cacat-cacat tersembunyi atas barang serta tidak bertanggung jawab atas ketidakabsahan dokumen kepemilikan barang.

Pasal (dalam kontrak Ijarah Muntahiya bit Tamlik)
Risiko-risiko

1.   Pemilihan kendaraan dari dealer telah dilakukan sendiri oleh musta’jir semata-mata atas pertimbangan musta’jir sendiri, dan musta’jir bertanggung sendiri atas penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dengan dealer.
2.      Kerusakan-kerusakan yang terjadi atau adanya cacat atas kendaraan tersebut di atas adalah menjadi tanggung jawab musta’jir sendiri, dan karenanya adalah menjadi tanggung jawab musta’jir untuk mengusahakan agar kendaraan tersebut diterima dan berada dalam keadaan layak pakai.
3.      Risiko atas rusaknya, musnahnya, dan/atau hilangnya kendaraan tersebut karena sebab pemakaian atau pengoperasian oleh must’ajir, atau pihak lain atas persetujuan musta’jir, atau sebab-sebab apapun juga termasuk sebab-sebab terjadinya peristiwa di luar kekuasaan manusia adalah menjadi tanggung jawab musta’jir.

Klausula mengenai resiko dalam kontrak tersebut tentu memberatkan pembeli (nasabah) dalam kontrak murabahah maupun musta’jir dalam kontrak IMBT karena mereka harus menanggung segala resiko yang terjadi dalam hal pembelian barang, yang mana barang yang menjadi objek kontrak diadakan olehnya sendiri yang mendapat kuasa dari bank atau mu’ajir.

Objek sewa dalam kontrak IMBT adalah milik mu’ajir. Apabila pengadaan obyek sewa mu’ajir menyerahkan pada musta’jir maka sebenarnya terjadi kontrak pemberian kuasa antara mu’ajir dengan musta’jir. Kontrak yang dilakukan oleh musta’jir dengan pihak ketiga (dealer) terjadi untuk kepentingan dari mu’ajir (sebagai asil atau pemberi kuasa). Inti pengertian perwakilan adalah bahwa seseorang bertindak hukum untuk orang lain. Meskipun kontrak dibuat oleh penerima kuasa / wakil, maka perjanjian itu adalah perjanjian antara asil (prinsipal), bukan antara wakil dengan pihak ketiga yang menjadi mitra janji. Asil (prinsipal) lah yang mendapatkan keuntungan dari kontrak tersebut dan yang bertanggung jawab atas kontrak tersebut.[16]

Keberadaan klausula mengenai resiko dalam kontrak murabahah maupun ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT) sebagaimana diuraikan di atas, mengandung klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak karena terdapat pelimpahan tanggung jawab kepada salah satu pihak yaitu debitur atas risiko dalam pelaksanaan kontrak.

Lebih lanjut ketentuan mengenai risiko pemakaian karena ada keadaan memaksa (force majeur) dalam kontrak IMBT di atas yang menjadi tanggung jawab musta’jir dinilai tidak adil dan mengandung klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak.

Force majeure adalah suatu keadaan di mana tidak terlaksananya apa yang diperjanjian karena hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tersebut.[17] Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, forje majeur diartikan keadaan memaksa diakibatkan oleh suatu malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh pihak yang harus berprestasi (Putusan MA RI nomor: 409K/Sip/1983). Forje majeur juga dapat diartikan sebagai situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan (Putusan nomor: 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst).[18]

Peristiwa yang dikategorikan sebagai force majeur membawa konsekuensi hukum kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi dan debitur tidak lagi dinyatakan wanprestasi sehingga debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur. Pasal 1553 KUH Perdata menyebutkan bahwa jika selama waktu sewa, barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum. Dari perkataan gugur dapat disimpulkan bahwa masing-masing pihak tidak dapat menuntut sesuatu dari pihak lainnya. Dengan katan lain, risiko akibat kemusnahan barang dipikul seluruhnya oleh pemilik barang.[19] Aturan ini kiranya tepat digunakan dalam menyelesaikan kasus musnahnya barang yang menjadi obyek IMBT karena di luar kekuasaan manusia (force majeure) karena status kepemilikan barang yang merupakan objek IMBT berada pada pihak mu’ajir.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1.      Keberadaan kontrak baku dalam dunia bisnis menjadi suatu keniscayaan sebagai wujud efisiensi bisnis dan dalam praktek telah diterima kehadirannya oleh masyarakat, termasuk kontrak baku syariah. Kontrak baku mengandung arti kontrak yang dibuat secara baku, yang mana salah satu pihak telah menyiapkan syarat-syarat baku pada formulir kontrak yang sudah ada kemudian disodorkan kepada pihak lain untuk disetujui dengan kesempatan bernegosiasi yang terbatas. Keabsahan kontrak baku syariah ditentukan melalui apakah klausula-klausula baku yang tertera dalam kontrak syariah tersebut bertentangan dengan prinsip syariah atau tidak.
2.      Klausula eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya. Sehingga keberadaan klasula eksemsi yang biasa tercantum dalam klausula baku sangat memberatkan salah satu pihak, biasanya debitur atau nasabah.
3.      Kontrak baku syariah dalam praktek ternyata mengandung klausula eksemsi yang memberatkan salah satu pihak. Klausula eksemsi terwujud dengan adanya klausula-klausula dalam kontrak yang mengandung pembatasan tindakan kepada salah satu pihak dalam melakukan kegiatan bisnis, pengalihan tanggung jawab atas risiko kontrak terhadap salah satu pihak, dan perluasan tanggung jawab dalam hal terjadi force majeur.


DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: Raja Grafindo, 2007.
Dewi, Gemala, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
_____, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.
Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya, 2007.
Muhammad, Abdul Kadir, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.
Rahman, Hasanuddin, Contract Drafting, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak dan Perlidungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.
Soemadipradja, Rahmat S.S, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Jakarta: NLRP, 2010.


[1] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlidungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 65-66.

[2] Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 6.

[3] Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 197.

[4] Ibid., hal. 196-197.
[5] Ibid., hal. 197-198.
[6] Dalam Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 206-207.

[7] Ibid., hal. 213-218.
[8] Dalam Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 31.

[9] Ibid., hal. 34.
[10] Ibid., hal. 37.
[11] Muni Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya, 2007), hal. 98.

[12] Hasanuddin Rahman, Contract Drafting, hal. 198-199.
[13] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak, hal. 71.

[14] Munir Fuady, Hukum Kontrak,  hal. 98-99.
[15] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2007), hal.  213-214.
[16] Ibid., hal. 298.

[17] Rahmat S.S Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta: NLRP, 2010), hal. 72.

[18] Ibid., hal 114.
[19] Ibid., hal. 122-123.

No comments:

Post a Comment