Main image

Sunday, March 25, 2012

Mempertanyakan Panja Putusan MA

Oleh: Alamsyah

Pembentukan Panitia Kerja (Panja) oleh Komisi III DPR atas putusan Mahkamah Agung (MA) menuai kontroversi. Keberadaan Panja mengaudit putusan MA dapat menggangu independensi peradilan. Akibatnya, meruntuhkan sistem ketatanegaraan yang telah ditetapkan konstitusi.

DPR menilai banyak putusan MA mengandung berbagai masalah dan mengusik keadilan masyarakat. Ada putusan MA telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tidak bisa dieksekusi dengan berbagai persoalan yang muncul. Belum lagi, ditengarai terdapat putusan MA saling bertentangan satu sama lain dalam obyek yang sama sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Kasus-kasus kecil yang menyedot perhatian publik seperti Prita Mulya Sari dan Nenek Rasminah diputus bersalah oleh MA padahal dukungan masyarakat menyuarakan keadilan mengalir deras kepada mereka. Di samping itu, tumpukan perkara MA memerlukan manajemen penyelesaian perkara serta peningkatan kualitas putusan. Inilah sebagian alasan DPR menjawab pertanyaan mengapa Panja dibentuk.

Kini publik bertanya, benarkah munculnya Panja Putusan MA dilandasi keikhlasan memperjuangkan kehendak rakyat dan semangat memperbaiki MA, ataukah sekedar mengusung kepentingan politik tertentu dengan menjual nama rakyat. Banyak anggota DPR terjerat kasus korupsi berjamaah diputus bersalah oleh MA. Bisa saja, dibentuknya Panja dimanfaatkan sebagai alat tawar kepentingan politik tertentu.

Dalih menjalankan fungsi pengawasan dengan mengaudit putusan MA merupakan suatu kekeliruan besar DPR. Fungsi pengawasan tidak bisa mengarah pada tindakan teknis yudisial. Menyatakan putusan MA tidak sesuai aturan hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat merupakan tindakan yang mempengaruhi kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Sangat berbahaya, apabila dalam sebuah negara demokrasi, lembaga yudikatif mendapat intervensi dari lembaga eksekutif  maupun legislative.

Komisi III DPR dapat melakukan pengawasan terhadap MA sepanjang menyangkut bidang non yudisial semisal masalah reformasi birokrasi dan penggunaan anggaran. Hal ini dapat dilakukan mengingat lembaga peradilan Indonesia belum sepenuhnya independen karena anggaran yang dimiliki masih bergantung pada kebijakan pemerintah maupun DPR.

Mengenai fungsi legislasi DPR merevisi Undang-undangMA tidak tepat dilakukan melalui pembentukan Panja Putusan MA. Upaya pencarian bahan hukum dalam proses legislasi dapat dilakukan dengan mempelajari berbagai yurisprudensi MA. Secara praktis, yurisprudensi dapat ditemukan dalam direktori putusan website MA ataupun media lain yang tersedia jika memang benar maksud dari DPR sekedar menemukan hukum baru dalam sebuah putusan. Terdapatnya putusan MA berbeda dengan hukum positif harus dimaknai sebagai penciptaan hukum baru karena hakim bukan corong-corong undang. Hakim  dapat menyimpangi hukum positif jika dinilai hukum tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan bertolak belakang dengan asas keadilan.

Tentu masih melekat dalam benak kita, pemikiran hukum Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif. Hukum dimaknai sebagai gagasan yang mengalir, yang tidak mau terjebak ke dalam status quo, sehingga menjadi mandek (stagnant). Hukum progresif selalu setia pada asas besar, “hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Keberadaan hukum terus mengalir karena kehidupan manusia memang penuh dinamika dan berubah dari waktu ke waktu (Satjipto Rahardjo: 2009). Oleh karena itu, menjadi wajar apabila ada hakim dalam memutus suatu perkara bersikap contra legem terhadap hukum positif. Selain itu, harus dipahami bahwa putusan hakim diambil berdasarkan sumpah, semata demi keadilan berdasarkan ketuhanan.

Mengaudit putusan dengan mencari segala kesalahan mengapa seorang hakim agung memutus bersalah atau tidak bersalah seseorang, terlebih memberi rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap hakim agung tertentu yang dinilai membuat kesalahan dalam memutus perkara jelas merupakan bentuk intervensi terhadap kemerdekaan peradilan. Menurut Artidjo Alkostar, hakim memiliki hak imunitas di mana ia tidak bisa dituntut atau dipersalahkan terhadap putusan yang dibuat. Putusan seorang hakim hanya dapat dinilai dan dibatalkan oleh tingkat peradilan yang lebih tinggi, bukan oleh kekuatan ekstra yudisial.

Sebenarnya, DPR haruslah mendukung dan menjaga independensi peradilan. Niatan baik DPR untuk memperbaiki kinerja MA serta menyuarakan kehendak rakyat haruslah dilakukan sesuai aturan yang berlaku dan tetap menjaga konsep bernegara yang telah ditetapkan konstitusi. Jangan sampai arogansi DPR atas nama rakyat terus menerus dipertontonkan kepada publik hingga menghantam eksistensi lembaga lain.

Ada beberapa langkah yang seharusnya dilakukan DPR. Pertama, menjalankan fungsi legislasi secara optimal. Fungsi utama DPR adalah membuat undang-undang di samping fungsi anggaran dan pengawasan. Banyak undang-undang harus segera dibuat karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tentu semua orang mengetahui, berapa tahun keberlakuan KUHP, KUH Perdata, KUHD, HIR, RBG, dan peraturan lain warisan kolonial dalam penegakkan hukum di Indonesia. Mengapa niat baik DPR memperbaiki sistem penegakan hukum tidak diawali dengan berkonsentrasi pada penggantian undang-undang warisan kolonial dengan produk legislasi nasional yang sesuai dengan jati diri bangsa.

Kedua, mengupayakan independensi lembaga peradilan secara utuh. Menurut Jimly Asshiddiqie, independensi kekuasaan kehakiman mencakup tiga hal yaitu structural independence, functional independence dan financial independence. Structural independence berarti independensi kelembagaan, di sini dapat dilihat dari bagan organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti eksekutif dan legislative. Functional independence berarti independensi dilihat dari jaminan pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra yudisial. Financial independence berarti independensi dilihat dari segi kemandirian dalam menentukan anggaran dalam rangka menjamin kemandirian lembaga tersebut dalam menjalankan fungsinya.

Independensi kekuasaan kehakiman yang diberikan konstitusi maupun UU Nomor 48 Tahun 2009 baru sebatas independensi struktural dan fungsional karena anggaran lembaga peradilan masih bergantung pada “kebaikan hati” eksekutif dan legislative. Harusnya DPR mengupayakan bagaimana lembaga peradilan memiliki kemandirian anggaran. Sangat miris jika melihat jumlah anggaran MA dan empat lingkungan peradilan di bawahnya. Tercatat angaran yang dimiliki tahun 2011 hanya 6 triliun atau sekitar 0,5 persen dari total APBN. Padahal, lembaga yudikatif merupakan salah satu pilar dari dua pilar lainnya (eksekutif dan legislative) yang memiliki kedudukan penting dan sederajat dalam sebuah negara demokrasi.

No comments:

Post a Comment