Main image

Sunday, March 25, 2012

Memutus Perkara Bebas Tendensi

Oleh : Alamsyah
Hakim memikul tanggung jawab yang sangat berat ketika memutus perkara. Putusan yang dijatuhkan hakim tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada para pihak namun juga di hadapan sang khalik. Keberadaan irah-irah “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa” dalam setiap putusan bukanlah sekedar formalitas bentuk belaka, namun mengandung maksud yang begitu dalam agar putusan hakim harus benar-benar mengandung keadilan yang berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.

Memaknai keadilan memang sangat sulit, terlebih keadilan berdasarkan atas ketuhanan. Keadilan yang diberikan hakim melalui putusannya, tidak selalu dipandang adil bagi para pihak maupun masyarakat. Pihak yang menang tentu mempersepsikan bahwa putusan hakim tersebut telah memenuhi nilai keadilan namun bagi pihak yang kalah dominan mengatakan putusan tersebut bernilai tidak adil.


Demi memperoleh putusan yang berkeadilan diperlukan sikap hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terbebas dari tendensi atau kecenderungan berpihak kepada salah satu pihak. Pihak yang berkedudukan sebagai penggugat maupun tergugat dalam ranah perdata dan pihak yang berkedudukan sebagai jaksa penuntut dan terdakwa beserta pembelanya harus diperlakukan sama dalam pemeriksaan perkara di persidangan. Hakim harus bersikap tidak berpihak dan memandang sama para pihak, tidak membeda-bedakan orang. Keunggulan dalam ranah sosial karena memiliki jabatan, harta kekayaan, keturunan, bentuk fisik, dan sebagainya tidak berlaku bagi hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, baik pidana maupun perdata karena semua orang  adalah dipandang sama di hadapan hukum (equality before the law).

Kesamaan kedudukan setiap orang di hadapan hukum dan ketidakberpihakan dalam pemeriksaan perkara di persidangan telah diatur dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kemudian Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Ketentuan ini jelas menahbiskan tentang keharusan hakim memutus perkara tanpa keberpihakan kepada salah satu pihak (imparsial). Jika hakim dalam memutus perkara sudah ada kecenderungan untuk berpihak maka sangat sulit untuk memperoleh mahkota hakim berupa putusan yang penuh keadilan.

Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3) sampai (5) bahwa hakim wajib mengundurkan diri apabila:
a.       terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
b.      terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
c.       ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Ketentuan ini adalah bentuk antisipasi agar tidak terjadi keberpihakan hakim dalam memutus perkara karena adanya konflik kepentingan maupun hubungan tertentu. Bahkan apabila ketentuan ini tidak diindahkan maka menurut ketentuan ayat (6) pasal di atas, putusan dinyatakan tidak sah dan hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sejalan dengan ketentuan perundang-undangan, salah satu prinsip dasar dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah berperilaku adil. Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Orang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

Di samping itu, al-qur’an juga telah mengatur perintah untuk bersikap adil yang tercantum dalam beberapa ayat, di antaranya sebagai berikut:
1.      Q.S al-Hadid ayat: 25, yang artinya, “sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.
2.      Q.S al-Maidah ayat: 8, yang artinya, “hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
3.      Q.S al-A’raf ayat: 29, yang artinya, “katakanlah Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan …”.
4.      Q.S an-Nahl ayat: 90, yang artinya, “sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Dalam sejarah peradilan Islam, tentu kita masih mengingat risalah Khalifah Umar bin Khattab, yang salah satu item isinya menyebutkan “persamakanlah kedudukan manusia dalam majelismu, pandanganmu dan keputusanmu sehingga seorang yang terhormat (bangsawan) tidak dapat menarik kamu kepada kecurangan dan orang yang lemah tidak berputus asa atas keadilanmu”. Risalah Umar bin Khattab tersebut mengandung pesan bagi hakim ketika memeriksa perkara harus memandang sama kedudukan orang dan menghilangkan kecenderungan untuk berpihak sehingga akan dapat diperoleh putusan hukum yang mengandung keadilan dan tetap terpeliharanya kepercayaan publik mengenai masih adanya keadilan yang diberikan oleh pengadilan, keadilan yang tidak berpihak dan tidak membeda-bedakan orang berdasarkan background apapun.

Nah, persoalan yang kini muncul adalah bagaimana cara bersikap hakim agar terbebas dari tendensi atau kecenderungan untuk berpihak dalam memeriksa dan memutus perkara demi mewujudkan putusan yang berkeadilan. Berikut penulis kemukakan beberapa langkah yang dapat diterapkan dalam praktek sebagai hakim.
Pertama, menanamkan keikhlasan dalam memutus perkara dan memegang prinsip bahwa memutus perkara adalah tugas mulia semata demi menegakkan kebenaran dan keadilan. Hati yang ikhlas dan prinsip yang kuat merupakan modal penting bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara agar terbebas dari keberpihakan dan pengaruh-pengaruh duniawi yang menggadaikan keluhuran tugas  sebagai hakim.

Tentu masih melekat dalam benak kita, hadis tentang tipologi hakim yang menyebutkan, “Hakim-hakim itu ada tiga golongan. Satu golongan di surga dan dua golongan di neraka. Adapun hakim yang di surga adalah hakim yang mengetahui akan kebenaran lalu ia memberikan keputusan berdasarkan kebenaran itu. Seorang hakim yang mengetahui akan kebenaran lalu ia curang dalam mengambil keputusan maka ia ditempatkan di neraka. Dan seorang hakim yang memberikan keputusan kepada manusia berdasarkan kebodohannya maka ia di tempatkan di neraka (HR. Abu Dawud).

Hadis di atas memberi peringatan bahwa hakim yang masuk neraka tidak hanya hakim yang tidak memiliki keilmuan dalam memutus perkara tetapi juga hakim yang memiliki keilmuan tetapi menyelewengkan keilmuannya tersebut dengan putusan yang curang semata didasarkan atas kepentingan tertentu atau keberpihakan kepada salah satu pihak. Perlu diingat, bahwa dalam setiap putusan hakim terdapat irah-irah yang menunjukkan bahwa putusan yang dijatuhkan hakim telah mengatasnamakan tuhan. Adanya adagium “hakim sebagi wakil tuhan” harus dipahami secara seksama dan dijaga secara benar maknanya dalam praktek.

Kedua, menerapkan asas audi et alteram partem dalam pemeriksaan perkara di persidangan secara benar. Hakim harus mendengar keterangan para pihak, tidak boleh hanya mendengar salah satu pihak saja dan mengesampingkan pihak lain. Segala fakta dan dalil hukum yang disampaikan para pihak harus diperhatikan secara seksama oleh hakim, tanpa membedakan berasal dari pihak mana.

Pemberian kesempatan kepada para pihak pun harus dilakukan secara adil dan berimbang sesuai aturan hukum yang berlaku. Jangan ada penghilangan hak-hak para pihak dalam proses persidangan, meskipun perkara yang sedang ditangani hakim adalah bersifat tertutup atau tidak mendapat sorotan publik.

Perilaku hakim dalam bersikap, berbicara, bahkan gesture tubuh dalam memeriksa perkara di persidangan harus juga tidak mencerminkan keberpihakan kepada salah satu pihak. Dalam hal demikian, seringkali hakim lupa ataupun tidak menyadari bahwa sikap yang diperbuatnya di persidangan menimbulkan image memihak salah pihak. Untuk itu, selain menjaga sikap selalu berhati-hati dalam memeriksa perkara juga sepatutnya sebelum memulai persidangan, hakim selalu berdoa agar terhindar dari sikap yang berpihak dan mampu terus berada di jalan yang lurus.

Ketiga, tidak menerima segala pemberian apapun dari para pihak yang berperkara. Jika seorang hakim menerima suatu pemberian dari pihak berperkara maka jelas akan mempengaruhi obyektifitas hakim dalam memutus suatu perkara. Hakim menjadi tersandera dengan pemberian tersebut yang berimbas pada sikap keberpihakan dalam pemeriksaan di persidangan maupun pertimbangan dalam menjatuhkan putusan.
Salah satu prinsip dasar dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yaitu prinsip berperilaku jujur menentukan bahwa hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau isteri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari: advokat, penuntut, orang yang sedang diadili, pihak lain yang kemungkinan kuat akan diadili, atau pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas peradilannya. Pengecualiaan dari ketentuan ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.

Ajaran Islam menentukan secara tegas larangan memperoleh harta dengan jalan yang batil dan riswah merupakan sesuatu yang dilarang. Allah telah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 188, yang menyebutkan, “dan janganlah kamu makan harta benda sebagian kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu menyodorkan harta itu kepada para hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan yang dosa, padahal kamu mengetahui”. Kemudian secara tegas disebutkan dalam sebuah hadis, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap dalam memutus perkara” (HR. Ahmad).

Muncul sebuah pertanyaan, apakah boleh menerima pemberian dari para pihak atau pihak lain yang berkepentingan dengan perkara yang ditangani hakim ketika perkara sudah putus bahkan telah berkekuatan hukum tetap, yang tidak berpengaruh pada putusan atau keberlanjutan perkara?

Menurut penulis, larangan menerima pemberian dari pihak berperkara atau pihak terkait tidak terbatas hanya pada waktu perkara belum diputus atau perkara sudah diputus namun masih dalam proses upaya hukum namun juga meliputi ketika suatu perkara telah diputus atau telah berkekuatan hukum tetap dengan alasan sebagai berikut: Pertama, apabila hakim menerima suatu pemberian dari salah satu pihak meskipun perkara telah diputus akan menimbulkan image atau dapat dipersepsikan oleh pihak lain bahkan masyarakat adanya suatu keberpihakan. Akan muncul asumsi bahwa pemberian tersebut mengandung maksud tertentu dan merupakan bagian skenario yang telah diperjanjikan di awal oleh salah satu pihak kepada hakim meskipun senyatanya pemberian tersebut bukan suatu konspirasi atau sekedar ucapan terima kasih belaka.
        
Kedua, pemberian tersebut dapat mengurangi keikhlasan hakim dalam memutus perkara. Sikap menerima pemberian dari pihak berperkara atau pihak lain setelah perkara diputus dapat mengurangi keikhlasan hakim yang sebelumnya telah tertanam dalam diri hakim karena setelah hakim memutus perkara ternyata masih mau menerima suatu pemberian dari pihak berperkara. Selain itu, akan memunculkan suatu pengharapan bagi hakim tentang suatu imbalan yang akan diberikan pihak berperkara terutama pihak yang menang tatkala suatu perkara telah diputus. Hal demikian tentu juga akan berpengaruh pada kewibawaan dan martabat hakim di mata pencari keadilan maupun masyarakat luas.

1 comment: