Main image

Sunday, March 25, 2012

Stop Anarkisme Ormas

Oleh: Alamsyah

Munculnya gerakan menuntut pembubaran ormas anarkistis melalui aksi demostrasi maupun jejaring sosial merupakan bentuk perlawanan masyarakat yang telah muak akan perilaku ormas yang mengusik kedamaian dan ketertiban masyarakat. Kritik yang selama ini ditujukan kepada pemerintah dan aparat berganti menjadi aksi seiring hilangnya kesabaran untuk terus menunggu  ketegasan pemerintah dalam menindak kebrutalan ormas. Tidak bisa ditolerir, tindakan bermotif apapun melalui kekerasan dan legitimasi kriminal di tengah masyarakat meskipun mengatasnamakan agama.

Kebebasan berorganisasi dan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi dan menjadi bagian perjuangan reformasi ‘98 tidak berarti memberi kebebasan tanpa batas dalam berorganisasi. Kegiatan organisasi harus relevan dengan ketentuan perundang-undangan yang telah digariskan dan tidak mengganggu ketertiban umum. Jangan sampai, keberadaan ormas yang semestinya memainkan peran positif dalam pembangunan bangsa malah menciptakan kekacauan di tengah masyarakat.

Fungsi ormas adalah sebagai: wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya; wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi; wadah peran serta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional; sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar ormas, dan antara ormas dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan pemerintah (Psl. 6 UU Ormas).

Peran Negara

Negara harus memainkan perannya dalam menciptakan kenyamanan bagi setiap warga negara, tanpa membeda-bedakan orang. Gerakan yang dengan sengaja menciptakan keresahan masyarakat melalui aksi kekerasan dan pengrusakan berbagai fasilitas umum maupun bangunan milik orang lain haruslah ditindak segera tegas. Tentu masih melekat dalam benak kita, pernyatan Presiden SBY pada sambutan perayaan Hari Pers Nasional di Kupang tahun 2011, “jika ada kelompok atau organisasi resmi yang selama ini terus melakukan aksi-aksi kekerasan, yang bukan hanya meresahkan masyarakat luas, tapi nyata-nyata telah banyak menimbulkan korban, pada para penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah dan legal untuk bisa perlu dilakukan pembubaran atau perubahan” hendaknya bukan hanya sekedar pernyataan untuk meredam kegusaran masyarakat belaka namun harus dimanifestasikan melalui tindakan.

Kepolisian secara nyata harus berani bertindak secara tegas terhadap setiap aksi kekerasan yang dilakukan ormas dengan background apapun. Ketentuan dalam KUHP maupun undang-undang terkait harus secara maksimal digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan, pengrusakan, dan pembuat keonaran dalam masyarakat. Namun demikian, upaya kepolisian tidak hanya terfokus pada tindakan represif namun harus diikuti tindakan preventif terhadap semua ormas. Kegiatan ormas yang mengarah pada tindakan anarkis harus mampu dibaca dan segera dilakukan tindakan pencegahan oleh kepolisian agar terhindar dari munculnya korban dan kerugian yang berdampak besar bagi masyarakat luas.

Dalih yang sering dilontarkan massa ormas yang berbuat anarkis semisal sweeping tempat perjudian, pelacuran, dan produksi miras illegal karena kepolisian lamban atau terkesan membiarkan praktek maksiat yang terjadi di masyarakat sehingga mereka tergerak untuk mengambil alih tugas yang seharusnya dilakukan oleh kepolisian tidak bisa menjadi alasan pembenar atas perilaku anarkis ormas. Begitu pula, tindakan ormas secara frontal menyerang golongan atau kelompok tertentu yang berbeda pandangan juga tidak bisa dibiarkan, semisal tahun 2008 adanya penyerangan Front Pembela Islam (FPI) kepada kelompok Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Monas bahkan dalam tayangan salah satu media televisi swasta, Selasa (14/02/2012), terjadi aksi kekerasan ormas di Yogyakarta terhadap seniman yang melakukan aksi teatrikal. Dalih “memberantas maksiat” melalui tindakan anarkis oleh ormas memang tidak bisa melegitimasi dan menghilangkan tanggung jawab pidana pelakunya, namun kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya harus semakin terlecut untuk melaksanakan tugas secara optimal dan cepat dalam menindak kejahatan atau kemaksiatan yang melanggar undang-undang yang terjadi di masyarakat.

Selain itu, institusi negara dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pemberian sanksi terhadap ormas harus menunjukkan eksistensinya. Kementerian tersebut harus bersikap proaktif untuk menindak ormas yang melakukan tindakan anarkis secara tegas tanpa harus terlebih dahulu menunggu kritik pedas bahkan aksi demostrasi masyarakat yang melakukan perlawanan, baik melalui sanksi administratif, pembekuan bahkan jika diperlukan pembubaran ormas. Jika sikap tegas dan cepat dilakukan oleh instansi tersebut maka tentu akan berdampak pada berkurangnya anarkisme ormas.

Peran masyarakat dalam memaknai kebebasan berorganisasi dan fungsi pendirian ormas, pendek kata budaya sadar hukum juga sangat diperlukan. Timbulnya degradasi budaya hukum di masyarakat ditandai dengan meningkatnya apatisme seiring dengan menurutnya tingkat apresiasi masyarakat kepada substansi hukum maupun struktur hukum. Hal ini telah tercermin dari peristiwa-peristiwa nyata yang terjadi di masyarakat. Pada tataran akar rumput, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat yang terjadi secara terus menerus tidak seharusnya dilihat sebagai sekedar euforia pasca reformasi. Dibalik itu tercermin rendahnya budaya hukum masyarakat karena kebebasan telah diartikan sebagai “serba boleh”. Padahal hukum adalah instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan sosial. Sebagai akibatnya timbul ketidakpastian hukum yang tercipta melalui proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang atau dengan kata lain hukum hanya merupakan instrumen pembenar bagi perilaku salah (M. Wahyudin Husein dan Hufron: 2008).

Urgensi Perubahan UU

Keberlakuan undang-undang ormas yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 sudah 26 tahun lebih menjadi pijakan hukum bagi kehidupan ormas di Indonesia. Undang-undang ini dinilai out off date dengan perkembangan kehidupan berorganisasi masyarakat Indonesia yang berubah pesat seiring bergulirnya reformasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 13, pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat ormas apabila ormas melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan pemerintah, dan memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. Pasal ini dinilai mengandung banyak kelemahan yaitu dapat digunakan menjadi pasal karet yang jelas bertolak belakang dengan semangat reformasi. Kalimat “mengganggu keamanan dan ketertiban umum” adalah bersifat umum dan dapat digunakan secara sewenang-wenang jika tidak ada acuan yang mengatur secara jelas dan rinci. Selain itu, pasal tersebut belum mampu menjangkau terhadap tindakan anarkis ormas yang beragam yang marak terjadi belakangan ini. Beberapa ormas ditengarai begitu gampang melakukan penyerangan kepada kelompok lain, yang jelas-jelas hal itu melanggar aturan hukum dan hak asasi manusia. Harus diatur secara jelas dan komprehensif, tindakan ormas yang kemudian dapat dilakukan pembekuan dan pembubaran.

Pernyataan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, yang dikutip beberapa media, menunjukkan keinginan pemerintah untuk menyederhanakan proses pembekuan dan pembubaran ormas yang anarkis. UU Ormas sekarang dinilai rumit sehingga mekanisme pembubaran ormas dinilai berbelit-belit dan terlalu panjang.

Namun, aturan pembekuan dan pembubaran ormas bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat. Aturan tersebut hanya memberikan batasan bahwa tindakan atau kegiatan ormas harus tetap menjunjung tinggi prinsip negara hukum. Bebas bukan dimaknai bebas melakukan tindakan yang melawan hukum, namun harus dimaknai bebas yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Perlu diingat, sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya bahwa seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah mendasarkan pada aturan hukum (rechtsstaat), bukan kekuasaan belaka (machtsstaat).

            Mekanisme pembinaan dan pengawasan ormas harus juga diatur secara tegas dan integrated. Ribuan ormas yang ada di Indonesia yang tercatat di berbagai kementerian tentu menyulitkan dalam hal pembinaan dan penindakan atas perilaku ormas menyimpang. Perlu pengaturan mekanisme pendirian ormas dan lembaga mana yang mempunyai kewenangan untuk mengaturnya mulai tingkat pusat hingga daerah. Dengan demikian, diharapkan keberadaan ormas sungguh dapat menjadi wadah aspirasi masyarakat dengan tetap berorientasi pada penciptaan ketertiban sosial dan berperan penting bagi pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

No comments:

Post a Comment